Warung sayur milik si abah kerap di hiasi oleh musik yang keluar dari radio yang suaranya sangat "stereo". Abah dan menantunya adalah pecinta radio dangdut dengan penyiar bersuara mirip-mirip penyiar radio tempo dulu bernama Po Ance tapi yang ini lebih serak basah datar manja dan sedikit kasar bagaikan kaki yang mengalami perpecahan suku karena sering pergi ke pasar. Bahasa penyiarannya terkadang lucu-lucu konyol teu harayang seuri.
Begitu saya nongol, biasanya sang menantu langsung melambai sambil nyengir lebar, sementara radio yang penuh dengan debu terigu menampilkan lagu dangdut berbahasa ngapak dengan aksen centil dari pendendangnya.
"Mbak, sini, ini ada lagunya Korn."
"Wiih, keren, Korn versi ngapak." sahut saya sambil ngacak-ngacak ayam.
Sang menantu tertawa ngakak sampai berleleran ingus dan air mata, hah air mata buhaya.
Kemarin ada seorang pembeli yang sangat tough. Tangguh bertanya tentang kepenasaran yang berkelebat di kepalanya, sementara penyanyi dangdut dari dalam radio bernyanyi riang.
"Panturaan nyak?" Tanyanya penuh harap kepada si abah yang tengah sibuk menimbang terigu.
Si abah hanya nyengir, sepertinya beliau sedang fokus dengan terigu, plastik dan timbangan.
Sang penanya terlihat penasaran belum mendapatkan jawaban.
"Panturaan nyak?" Kini dia bertanya sebanyak dua kali kepada karyawan baru si abah yang kinyis-kinyis karena sang menantu tengah sakit.
Sang karyawan yang tengah menghitung belanjaan saya boro-boro mendengarkan pertanyaannya. Ribet antara kalkulator dan timbangan digital.
Si penanya ternyata pantang menyerah, sedangkan penyanyi dangdut semakin mendayu menggelitik telinga yang tengah penasaran itu.
"Panturaan nyak?" Tanyanya kepada seorang ibu yang tengah memilih ikan asin di dekatnya. Si ibu menatapnya sebentar lalu melanjutkan kegiatannya.
Namun ternyata dia adalah pejuang panturaan garis keras, tak mengenal lelah, demi sebuah kepastian.
"Panturaan nyak?" kini wajahnya menatap saya penuh harap akan sebuah jawaban berupa kata-kata. Bener-bener ngegemesin banget nih orang, bikin rebing kuping. Dengan sangat menyesal akhirnya saya pun mengeluarkan suara.
"Metal." seru saya meleos sambil menjinjing belanjaan.
Begitu saya nongol, biasanya sang menantu langsung melambai sambil nyengir lebar, sementara radio yang penuh dengan debu terigu menampilkan lagu dangdut berbahasa ngapak dengan aksen centil dari pendendangnya.
"Mbak, sini, ini ada lagunya Korn."
"Wiih, keren, Korn versi ngapak." sahut saya sambil ngacak-ngacak ayam.
Sang menantu tertawa ngakak sampai berleleran ingus dan air mata, hah air mata buhaya.
Kemarin ada seorang pembeli yang sangat tough. Tangguh bertanya tentang kepenasaran yang berkelebat di kepalanya, sementara penyanyi dangdut dari dalam radio bernyanyi riang.
"Panturaan nyak?" Tanyanya penuh harap kepada si abah yang tengah sibuk menimbang terigu.
Si abah hanya nyengir, sepertinya beliau sedang fokus dengan terigu, plastik dan timbangan.
Sang penanya terlihat penasaran belum mendapatkan jawaban.
"Panturaan nyak?" Kini dia bertanya sebanyak dua kali kepada karyawan baru si abah yang kinyis-kinyis karena sang menantu tengah sakit.
Sang karyawan yang tengah menghitung belanjaan saya boro-boro mendengarkan pertanyaannya. Ribet antara kalkulator dan timbangan digital.
Si penanya ternyata pantang menyerah, sedangkan penyanyi dangdut semakin mendayu menggelitik telinga yang tengah penasaran itu.
"Panturaan nyak?" Tanyanya kepada seorang ibu yang tengah memilih ikan asin di dekatnya. Si ibu menatapnya sebentar lalu melanjutkan kegiatannya.
Namun ternyata dia adalah pejuang panturaan garis keras, tak mengenal lelah, demi sebuah kepastian.
"Panturaan nyak?" kini wajahnya menatap saya penuh harap akan sebuah jawaban berupa kata-kata. Bener-bener ngegemesin banget nih orang, bikin rebing kuping. Dengan sangat menyesal akhirnya saya pun mengeluarkan suara.
"Metal." seru saya meleos sambil menjinjing belanjaan.
posted from Bloggeroid