Monday, November 28, 2016

PANTURAAN

Warung sayur milik si abah kerap di hiasi oleh musik yang keluar dari radio yang suaranya sangat "stereo". Abah dan menantunya adalah pecinta radio dangdut dengan penyiar bersuara mirip-mirip penyiar radio tempo dulu bernama Po Ance tapi yang ini lebih serak basah datar manja dan sedikit kasar bagaikan kaki yang mengalami perpecahan suku karena sering pergi ke pasar. Bahasa penyiarannya terkadang lucu-lucu konyol teu harayang seuri.

Begitu saya nongol, biasanya sang menantu langsung melambai sambil nyengir lebar, sementara radio yang penuh dengan debu terigu menampilkan lagu dangdut berbahasa ngapak dengan aksen centil dari pendendangnya.
"Mbak, sini, ini ada lagunya Korn."
"Wiih, keren, Korn versi ngapak." sahut saya sambil ngacak-ngacak ayam.
Sang menantu tertawa ngakak sampai berleleran ingus dan air mata, hah air mata buhaya.

Kemarin ada seorang pembeli yang sangat tough. Tangguh bertanya tentang kepenasaran yang berkelebat di kepalanya, sementara penyanyi dangdut dari dalam radio bernyanyi riang.
"Panturaan nyak?" Tanyanya penuh harap kepada si abah yang tengah sibuk menimbang terigu.
Si abah hanya nyengir, sepertinya beliau sedang fokus dengan terigu, plastik dan timbangan.
Sang penanya terlihat penasaran belum mendapatkan jawaban.
"Panturaan nyak?" Kini dia bertanya sebanyak dua kali kepada karyawan baru si abah yang kinyis-kinyis karena sang menantu tengah sakit.
Sang karyawan yang tengah menghitung belanjaan saya boro-boro mendengarkan pertanyaannya. Ribet antara kalkulator dan timbangan digital.
Si penanya ternyata pantang menyerah, sedangkan penyanyi dangdut semakin mendayu menggelitik telinga yang tengah penasaran itu.
"Panturaan nyak?" Tanyanya kepada seorang ibu yang tengah memilih ikan asin di dekatnya. Si ibu menatapnya sebentar lalu melanjutkan kegiatannya.
Namun ternyata dia adalah pejuang panturaan garis keras, tak mengenal lelah, demi sebuah kepastian.
"Panturaan nyak?" kini wajahnya menatap saya penuh harap akan sebuah jawaban berupa kata-kata. Bener-bener ngegemesin banget nih orang, bikin rebing kuping. Dengan sangat menyesal akhirnya saya pun mengeluarkan suara.
"Metal." seru saya meleos sambil menjinjing belanjaan.

posted from Bloggeroid

Sunday, November 27, 2016

MUSIK DARI NERAKA

"Matikan, mama sudah bilang, jangan dengarkan musik seperti itu. Itu musik dari neraka."
Mama yang hebat, sudah wira-wiri ke neraka rupanya, sampai bisa tahu kalau musik yang putranya dengarkan adalah dari tempat dimana Hades berjaga.

posted from Bloggeroid

Friday, November 25, 2016

SEBAB DAN AKIBAT

Semua hal buruk yang terjadi padaku adalah akibat dari sebab-sebab buruk yang telah aku lakukan sebelumnya, begitu pula halnya dengan kebahagiaan.

posted from Bloggeroid

Saturday, September 17, 2016

[CERPEN] SEPTEMBER!

September adalah bulan keramat. Bulan dimana aku selalu mendapatkan ucapan selamat dan todongan makan-makan yang salah alamat. Ini semua gara-gara nama yang disematkan oleh orangtuaku kala aku baru saja di lahirkan dengan selamat. Ya, ternyata selamat tidak hanya pergi mengiringi Neil Amstrong atau Yuri Gagarin ke bulan. Namun juga menemani perjalanan ku dari nirwana ke dunia fana. Ah, sungguh aku belum sempat berterimakasih kepada selamat. TapI tak apalah, pasti selamat akan memakluminya. Semoga saja.

Tidak seperti September-September sebelumnya, September kali ini aku terbebas dari segala tingkah aneh teman-teman SMA ku yang selalu pura-pura tidak tahu bila aku tidak dilahirkan di Bulan September. Aku bisa sedikit bernafas lega karena tidak akan ada yang melempariku dengan telur, terigu bahkan minyak kelapa. Kadang aku berprasangka, mungkin teman-temanku tahu bila aku sedang ikut kursus membuat kue. Mereka berpikir, semakin akrab aku dengan bahan-bahan itu, maka semakin cepatlah aku berhasil menaklukan kutukan roti dan temannya si bolu kukus yang tak mau tertawa.

Pagi ini aku berdiri di lorong bis kota, diantara kursi kursi yang semuanya telah terisi. Aku membelalakkan mataku tak percaya, di sana, di spion berbentuk persegi itu terpantul sebuah wajah ayu bagai titisan model gadis sampul. Aku memegangi hidungku, menyentuh bibirku, menyelipkan helaian rambut yang menganggu pipi ke telingaku, lalu mengagumi leher jenjang yang... ah ternyata itu bukan aku. Pantulan wajahku.tertutup oleh wajah gadis di depanku. Gerhana wajah total sedang berlangsung di bis kota yang penuh sesak ini.

Jam ditangan supir angkot kampus yang bertatto itu telah menunjukkan angka 6 lebih 50 menit. Aku terbeliak. Bukan karena tahu aku akan terlambat, tapi karena motif tatto pak supir yang mengingatkan ku ke corak kain batik nenek ku, parang rusak. Rupanya, pak supir mencintai ploduk-ploduk Indonesia juga. Lalu aku pun memuja dan memujinya, hasilnya ia melesat bagai Michael Shoemaker. Dengan senang hati, aku pun menjura.

Kali ini aku.terselamatkan, aku masuk aula kampus tepat ketika jarum jam panjang berada di angka duabelas. Ternyata kecepatan lariku.masih diatas rata rata, Carl Lewis harusnya bangga dengan anak didiknya.

"September Ceria."
Semua teman-teman satu.jurusanku mengulangi perkataan seorang senior yang berdiri di depan sana dengan menyandang toa.
"Siapa suruh kalian mengikuti? Ini bukan yel-yel, saya sedang memanggil nama salah satu teman.kalian, paham?" Sang senior muntab.
Rasanya aku ingin tertawa, tapi dalam hati saja, takutnya komplikasi karena mulutku kini susah diajak koordinasi apalagi melihat pemandangan indah di depan sana.

Dia bagaikan kembaran Nuno, bukan Nuno dan Yovie atau Yovi dan Nuno, yeah apalah itu, tapi Nuno Bettencourt. Mendadak perutku yang belum diisi nasi ini dI penuhi dengan nada-nada yang membentuk lagu More Than Words. Ingin rasanya aku ikut menyanyi sambil menggoyang-goyangkan korek api. Tapi semuanya musnah seketika karena ternyata dia galaknya luar biasa.
"September!"
Aku terlonjak.
"Kamu telat, jalan jongkok bolak balik."
Sambil menatap nanar jam di dinding aula, mulutku ingin protes. Namun tatapan galak kak Nuno membuatku patah semangat.
Dan selanjutnya, dunia ku.bagaikan akan runtuh, tulang mencelat, encok menyerang dan ketombe berjingkrakan dengan riang. Panas... Panas... Panas.., Arman Maulana ikut meradang.

"September! Skot jump."
"September! Lari keliling lapangan."
"September! Ambil air."
"September! Siram bunga."
"September! Jadi patung."
"September! Nyanyi mars KB."
"September! Lempar batu."
"September! Sembunyi tangan."

Hari itu, aku remuk redam. Susunan tulangku berantakan. Semoga saja tulang rusuk ku tidak, kalau iya, bagaimana nanti nasib cerita romansaku. Gak mungkin kan nyuruh Mas Anang mencari sambil nyanyi jodohku. Oh tidak usah, mungkin aku akan cari sendiri saja ke tukang sop iga, mudah-mudahan beruntung. Kalau tidak ya coba lagi saja.

September tahun ini ternyata lebih kelam dari tahun sebelumnya, seharusnya aku ganti nama saja menjadi September Merana.

"September, kamu di panggil kak April."
Aku terperanjat memdengar suara menggelegar bak gemuruh ombak di pantai selatan.
Aku mengerutkan keningku. April? April Lavinge? Sejak kapan dia kuliah di sini?
Dari kejauhan aku melihat kak Nuno, rambutnya berkibar kibar bagai bendera setengah tiang di lapangan. Segalak apapun dia, tidak membuatku berhenti mengaguminya. Ia begitu memesona sampai aku tak menyadari kalau sekarang aku sudah ada di hadapannya.
"September!"
Aku terperangah.
"Kamu melamun?"
"Eh, eng... gak...sa..ya..." Aku tergagap sambil menundukkan kepala bagaikan aksi mengheningkan cipta. Dengar seluruh angkasa raya memuji...
"Pantas saja kamu salah nulis, kamu sering melamun rupanya. Lihat ini." Kak Nuno menyodorkan buku tempat dimana aku harus menggumpulkan tanda tangan para senior satu jurusan.
Aku melihat tanda tangan Dan Nama yang tertera di sana. Tidak ada yang salah.
Aku menatap kak Nuno minta penjelasan.
Dia menunjuk huruf-huruf yang membentuk kata Nuno di bawah tanda tangan yang serumit benang wol yang dimainkan Kucing rumahan.
"Siapa Nuno?" Dia membelalak, namun tidak menghilangkan semua pesonanya.
"Ka..."
"Kamu juara lomba mengarang tujuh belasan ya?"
Aku menggeleng.
"Juara lomba makan kerupuk kak."
Kataku polos.
Mendengar jawaban ku, kak Nuno balik kanan namun tak pakai bubar jalan.
"Dengar baik-baik ya, namaku April bukan Nuno."
Ya ampun, aku malu sekali, mengapa aku semena-mena menulis nama itu. Aku gagal fokus gara-gara rambut itu.
"Karena kamu telah melakukan kesalahan, kamu akan mendapat hukuman lagi. Sebenarnya kakak bosan menghukum kamu. Tapi hukum harus ditegakkan." Kak Nuno eh Kak April berkata dengan heroiknya, gayanya sudah seperti Bill Pullman ketika berpidato sesaat sebelum menyerang pesawatnya Alien.
"Lari keliling lapangan sambil dadah dadah, dua putaran."
Aku terpana, siang terik begini, lari lagi sambil dadah dadah pula? Ya Tuhan, andai saja Engkau memberiku kekuatan bagai Loro Jonggrang, pasti aku akan menyambutnya dengan senang.
Aku bagaikan atlet yang membawa obor PON, berlari di antara tatapan banyak pasang mata. Di tengah perjalanku, mataku mulai berkunang-kunang, kepalaku bagai di pukul oleh anggota The Avengers, Thor, tulang belulangku bagai duri bandeng presto dan otot ku mengendur bagai tali kolor kadaluarsa. Tiba-tiba, duniaku gelap.

Aku terbangun ketika hidungku membaui aroma yang sangat menyengat. Rupanya tadi aku pingsan karena kelelahan. Awalnya aku akan membuka mataku, namun Aku urungkan. Aku pikir, mengapa aku harus bangun kalau dengan tergeletak disini membuatku dapat beristirahat sejenak.
Telingaku menangkap suara-suara yang bersahutan, rupanya ada adu mulut yang sangat sengit. Aku memicingkan mataku, Kak April tengah bersitegang dengan wakilnya. Aku menutup kembali mataku ketika salah satu dari mereka pergi.
Hidungku kembali mencium aroma tajam itu, namun aku bergeming.
Lalu ada tepukan halus di pipiku.
"Tolong aku, sadarlah." Kak April berbisik.
Aku bertahan.
"Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membuat kamu seperti ini. Aku hanya ingin selalu melihatmu. Semakin sering aku menghukum kamu, semakin sering pula aku bisa berlama-lama menatapmu. Mungkin Inilah yang di sebut cinta pada pandangan pertama."
Mendengar apa yang baru saja kak April ucapkan, rasanya aku ingin segera membuka mata. Namun, untuk apa membuka mata, bukankah dengan begini aku bisa berlama-lama bersamanya.
Ternyata, September ku tidaklah semerana yang aku rasakan sebelumnya. September ku tetaplah ceria seceria namaku.

posted from Bloggeroid

Tuesday, July 12, 2016

BUKIT PANEMBONGAN KUNINGAN

Berbekal google maps, akhirnya saya touch down juga di bukit yang lagi hits banget di Kuningan, yaitu bukit Panembongan. Bukit ini mirip mirip bukit bintang nya Moko. Kata Bapak polhut yang katanya di turunkan langsung dari Jakarta bukan dari langit, bukit panembongan ini ketenaran nya satu tingkat di bawah Moko. Ja bener baaeeee.

Jalan menuju ke desa tembong dimana sang bukit berada itu bagaikan roda kehidupan, kadang naik kadang turun. Aeh kok sounds like permainan ular tangga ya, jaaa bener baaeee maning. Tanjakan dan turunannya sangat ekstrim, dengan keadaan jalan yang bervariasi. Ada yang di beton, di aspal, jalan berbatu dan jalan tanah yang berdebu. Yang gak ada cuma jalan jalan di tunjungan, karena itu adalah syair lagu.


Karena halnya sedang ada dalam kepopuleran, maka tak ayal pengunjungnya pun membludak, pabalatak, menuh menuhin tempat. Wisatawan lokal dengan berbagai gaya, dari yang bergaya casual, allay, motorcrosseran, formal, sampai sarungan dan cadaran. Semua gak mau ketinggalan menghabiskan liburan di bukit dengan panorama yang tak semenjana itu.