Saturday, September 17, 2016

[CERPEN] SEPTEMBER!

September adalah bulan keramat. Bulan dimana aku selalu mendapatkan ucapan selamat dan todongan makan-makan yang salah alamat. Ini semua gara-gara nama yang disematkan oleh orangtuaku kala aku baru saja di lahirkan dengan selamat. Ya, ternyata selamat tidak hanya pergi mengiringi Neil Amstrong atau Yuri Gagarin ke bulan. Namun juga menemani perjalanan ku dari nirwana ke dunia fana. Ah, sungguh aku belum sempat berterimakasih kepada selamat. TapI tak apalah, pasti selamat akan memakluminya. Semoga saja.

Tidak seperti September-September sebelumnya, September kali ini aku terbebas dari segala tingkah aneh teman-teman SMA ku yang selalu pura-pura tidak tahu bila aku tidak dilahirkan di Bulan September. Aku bisa sedikit bernafas lega karena tidak akan ada yang melempariku dengan telur, terigu bahkan minyak kelapa. Kadang aku berprasangka, mungkin teman-temanku tahu bila aku sedang ikut kursus membuat kue. Mereka berpikir, semakin akrab aku dengan bahan-bahan itu, maka semakin cepatlah aku berhasil menaklukan kutukan roti dan temannya si bolu kukus yang tak mau tertawa.

Pagi ini aku berdiri di lorong bis kota, diantara kursi kursi yang semuanya telah terisi. Aku membelalakkan mataku tak percaya, di sana, di spion berbentuk persegi itu terpantul sebuah wajah ayu bagai titisan model gadis sampul. Aku memegangi hidungku, menyentuh bibirku, menyelipkan helaian rambut yang menganggu pipi ke telingaku, lalu mengagumi leher jenjang yang... ah ternyata itu bukan aku. Pantulan wajahku.tertutup oleh wajah gadis di depanku. Gerhana wajah total sedang berlangsung di bis kota yang penuh sesak ini.

Jam ditangan supir angkot kampus yang bertatto itu telah menunjukkan angka 6 lebih 50 menit. Aku terbeliak. Bukan karena tahu aku akan terlambat, tapi karena motif tatto pak supir yang mengingatkan ku ke corak kain batik nenek ku, parang rusak. Rupanya, pak supir mencintai ploduk-ploduk Indonesia juga. Lalu aku pun memuja dan memujinya, hasilnya ia melesat bagai Michael Shoemaker. Dengan senang hati, aku pun menjura.

Kali ini aku.terselamatkan, aku masuk aula kampus tepat ketika jarum jam panjang berada di angka duabelas. Ternyata kecepatan lariku.masih diatas rata rata, Carl Lewis harusnya bangga dengan anak didiknya.

"September Ceria."
Semua teman-teman satu.jurusanku mengulangi perkataan seorang senior yang berdiri di depan sana dengan menyandang toa.
"Siapa suruh kalian mengikuti? Ini bukan yel-yel, saya sedang memanggil nama salah satu teman.kalian, paham?" Sang senior muntab.
Rasanya aku ingin tertawa, tapi dalam hati saja, takutnya komplikasi karena mulutku kini susah diajak koordinasi apalagi melihat pemandangan indah di depan sana.

Dia bagaikan kembaran Nuno, bukan Nuno dan Yovie atau Yovi dan Nuno, yeah apalah itu, tapi Nuno Bettencourt. Mendadak perutku yang belum diisi nasi ini dI penuhi dengan nada-nada yang membentuk lagu More Than Words. Ingin rasanya aku ikut menyanyi sambil menggoyang-goyangkan korek api. Tapi semuanya musnah seketika karena ternyata dia galaknya luar biasa.
"September!"
Aku terlonjak.
"Kamu telat, jalan jongkok bolak balik."
Sambil menatap nanar jam di dinding aula, mulutku ingin protes. Namun tatapan galak kak Nuno membuatku patah semangat.
Dan selanjutnya, dunia ku.bagaikan akan runtuh, tulang mencelat, encok menyerang dan ketombe berjingkrakan dengan riang. Panas... Panas... Panas.., Arman Maulana ikut meradang.

"September! Skot jump."
"September! Lari keliling lapangan."
"September! Ambil air."
"September! Siram bunga."
"September! Jadi patung."
"September! Nyanyi mars KB."
"September! Lempar batu."
"September! Sembunyi tangan."

Hari itu, aku remuk redam. Susunan tulangku berantakan. Semoga saja tulang rusuk ku tidak, kalau iya, bagaimana nanti nasib cerita romansaku. Gak mungkin kan nyuruh Mas Anang mencari sambil nyanyi jodohku. Oh tidak usah, mungkin aku akan cari sendiri saja ke tukang sop iga, mudah-mudahan beruntung. Kalau tidak ya coba lagi saja.

September tahun ini ternyata lebih kelam dari tahun sebelumnya, seharusnya aku ganti nama saja menjadi September Merana.

"September, kamu di panggil kak April."
Aku terperanjat memdengar suara menggelegar bak gemuruh ombak di pantai selatan.
Aku mengerutkan keningku. April? April Lavinge? Sejak kapan dia kuliah di sini?
Dari kejauhan aku melihat kak Nuno, rambutnya berkibar kibar bagai bendera setengah tiang di lapangan. Segalak apapun dia, tidak membuatku berhenti mengaguminya. Ia begitu memesona sampai aku tak menyadari kalau sekarang aku sudah ada di hadapannya.
"September!"
Aku terperangah.
"Kamu melamun?"
"Eh, eng... gak...sa..ya..." Aku tergagap sambil menundukkan kepala bagaikan aksi mengheningkan cipta. Dengar seluruh angkasa raya memuji...
"Pantas saja kamu salah nulis, kamu sering melamun rupanya. Lihat ini." Kak Nuno menyodorkan buku tempat dimana aku harus menggumpulkan tanda tangan para senior satu jurusan.
Aku melihat tanda tangan Dan Nama yang tertera di sana. Tidak ada yang salah.
Aku menatap kak Nuno minta penjelasan.
Dia menunjuk huruf-huruf yang membentuk kata Nuno di bawah tanda tangan yang serumit benang wol yang dimainkan Kucing rumahan.
"Siapa Nuno?" Dia membelalak, namun tidak menghilangkan semua pesonanya.
"Ka..."
"Kamu juara lomba mengarang tujuh belasan ya?"
Aku menggeleng.
"Juara lomba makan kerupuk kak."
Kataku polos.
Mendengar jawaban ku, kak Nuno balik kanan namun tak pakai bubar jalan.
"Dengar baik-baik ya, namaku April bukan Nuno."
Ya ampun, aku malu sekali, mengapa aku semena-mena menulis nama itu. Aku gagal fokus gara-gara rambut itu.
"Karena kamu telah melakukan kesalahan, kamu akan mendapat hukuman lagi. Sebenarnya kakak bosan menghukum kamu. Tapi hukum harus ditegakkan." Kak Nuno eh Kak April berkata dengan heroiknya, gayanya sudah seperti Bill Pullman ketika berpidato sesaat sebelum menyerang pesawatnya Alien.
"Lari keliling lapangan sambil dadah dadah, dua putaran."
Aku terpana, siang terik begini, lari lagi sambil dadah dadah pula? Ya Tuhan, andai saja Engkau memberiku kekuatan bagai Loro Jonggrang, pasti aku akan menyambutnya dengan senang.
Aku bagaikan atlet yang membawa obor PON, berlari di antara tatapan banyak pasang mata. Di tengah perjalanku, mataku mulai berkunang-kunang, kepalaku bagai di pukul oleh anggota The Avengers, Thor, tulang belulangku bagai duri bandeng presto dan otot ku mengendur bagai tali kolor kadaluarsa. Tiba-tiba, duniaku gelap.

Aku terbangun ketika hidungku membaui aroma yang sangat menyengat. Rupanya tadi aku pingsan karena kelelahan. Awalnya aku akan membuka mataku, namun Aku urungkan. Aku pikir, mengapa aku harus bangun kalau dengan tergeletak disini membuatku dapat beristirahat sejenak.
Telingaku menangkap suara-suara yang bersahutan, rupanya ada adu mulut yang sangat sengit. Aku memicingkan mataku, Kak April tengah bersitegang dengan wakilnya. Aku menutup kembali mataku ketika salah satu dari mereka pergi.
Hidungku kembali mencium aroma tajam itu, namun aku bergeming.
Lalu ada tepukan halus di pipiku.
"Tolong aku, sadarlah." Kak April berbisik.
Aku bertahan.
"Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membuat kamu seperti ini. Aku hanya ingin selalu melihatmu. Semakin sering aku menghukum kamu, semakin sering pula aku bisa berlama-lama menatapmu. Mungkin Inilah yang di sebut cinta pada pandangan pertama."
Mendengar apa yang baru saja kak April ucapkan, rasanya aku ingin segera membuka mata. Namun, untuk apa membuka mata, bukankah dengan begini aku bisa berlama-lama bersamanya.
Ternyata, September ku tidaklah semerana yang aku rasakan sebelumnya. September ku tetaplah ceria seceria namaku.

posted from Bloggeroid