Tuesday, December 19, 2017

REIN : SENJA TERAKHIR



Rein menatap mata coklat itu. Sejenak ia merasa seluruh tempat itu berubah menjadi suram, warna kelam menyelimuti semua yang ia tatap. Ia merasakan tiupan angin nan dahsyat menampar-nampar wajahnya. Rasa dingin menyergap dan memerangkapnya seketika. Semua rasa bahagia yang beberapa hari ini ia rasakan berganti dengan rasa hampa.  Semua itu disebabkan oleh kalimat yang baru saja Nara ucapkan.
Jed telah pergi untuk memenuhi takdirnya. Sebuah peristiwa kecelakaan beruntun telah merengut nyawanya, ia hanya bertahan beberapa jam, dimana Nara menangis tanpa henti di sisi pembaringan adiknya.  Perasaan Nara semakin tergores ketika adiknya mengucapkan kalimat yang sama sekali tak di duganya.
“Jaga dia ya kak, aku tahu apa yang ada dalam hati kakak selama ini.” kata Jed lemah.
Air mata Nara meleleh tanpa henti, wajah pucat dihadapannya masih tersenyum.
“Kak aku haus.”
Nara menempelkan gelas berisi air putih di bibir adiknya dengan tangan gemetar.
“Kalian adalah dua orang yang sangat berarti dalam hidupku, aku ingin kalian berdua selalu ada dalam kebahagiaan, kak berjanjilah.”
Nara menganggukan kepalanya.
“Aku janji dik, pergilah dengan damai.” Nara membisikkan dua kalimat yang pernah ia bisikkan kepada kakeknya yang telah meninggal beberapa tahun lalu ke telinga Jed. Nafas Jed tersenggal lalu satu tarikan nafas panjang mengakhiri semua rasa sakit yang menderanya.
Nara membelai kepala adiknya lembut.  Ia menyeka air matanya dengan lengan jaket jeansnya lalu keluar dari ruang ICU dan di sambut oleh tangisan mami, adik-adik serta tantenya.
Nara bersandar di kursi tunggu rumah sakit yang dingin, semua bagaikan mimpi.  Ia marah kepada dirinya sendiri, ia gagal menjaga adiknya. Kedua tangannya mencengkram erat kepalanya seakan menahannya untuk tidak meledak.
Hari ini adalah hari terburuk baginya, adik lelaki yang ia sayangi dan ingin selalu ia jaga telah pergi untuk selamanya.  Dunianya mendadak menjadi sangat sepi, tak akan ada lagi cekcok mulut dengannya, tak akan ada lagi tawa renyahnya dan tak akan ada lagi semua rasa kesal yang sering timbul karena adik lelakinya itu. Semuanya akan hilang meninggalkannya dalam kesendirian.
Dan saat ini hati Nara seakan kembali di pukuli oleh gada besar nafasnya terasa sesak ketika melihat tatapan kosong gadis di hadapannya.  Nara tahu, ia hanya bisa diam menanti. 
Tiba tiba Rein beranjak dari duduknya.  Tanpa kata kata ia meninggalkan Nara.  Langkahnya terasa sangat berat. Setiap ia melangkahkan kakinya, ia seakan merasa semua yang dilewatinya menjadi layu dan menghitam.  Matahari yang bersinar mendadak meredup tertutup awan hitam. Pepohonan yang menghijau seakan meranggas, rerumputan seakan terbakar dan bunga bunga yang mekar seakan menunduk layu dan melepaskan helai demi helai kelopaknya yang mengering. Tenda tenda bazzar yang akan berlangsung esok hari seakan menjadi payung payung hitam yang bermekaran pertanda ada duka yang sangat dalam.
Nara mengikuti Rein dari belakang, tatapan nya tak lepas dari sosok gadis itu.  Nara dapat merasakan duka yang dirasakan oleh Rein.  Kedekatan Rein dengan adiknya beberapa bulan kebelakang membuat perasaan Nara menjadi tak menentu.  Ia bahagia bisa melihat wajah bahagia adiknya walaupun di dalam hatinya seringkali ada letupan letupan yang sulit ia atasi.  Nara selalu merasa senang ketika melihat tawa Rein mengembang. Ia akan merasa sangat lega ketika melihat wajah Rein penuh dengan kebahagiaan. Dan ia akan merasa tenang ketika melihat tatap mata Rein yang berbinar, walaupun itu semua bukan untuknya. Tapi sekarang semuanya musnah, gadis yang berjalan lambat memunggunginya itu kini sedang dalam duka yang sangat dalam, sedalam perasaan duka yang masih menyelimuti hatinya selama satu minggu ini. 
Rein berjalan dengan langkah gontai.  Tiba tiba ia merasa sangat lelah, pikirannya di penuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang ia tak ingin ketahui jawabannya. Dadanya terasa sesak, ia bersandar di  tembok bengkel Tehnik Mesin yang sepi, matanya menerawang jauh.  Mendadak kakinya terasa lemah, tubuhnya lelah, ia terduduk lalu meletakkan dagunya di atas lututnya yang tertekuk.
Nara duduk di samping Rein, ia tahu mungkin Rein tidak ingin dia ada di sana, tapi rasa khawatirnya melebihi rasa apapun yang pernah ia rasakan.
“Kakak disana?” tanya Rein lemah.
“Ya.” jawab Nara parau.
“Apakah ia nampak kesakitan?”
Nara menggelengkan kepalanya. “Dia pergi dalam damai.”
Rein mengangguk anggukan kepalanya. “Makasih kak sudah memberi tahu aku,  aku butuh ruang.”
“Kamu tahu dimana menemukan aku.” Sahut Nara lemah.
Rein mengangguk.

Rein meletakkan tas gendong export nya dengan asal diatas ranjangnya yang rapi. Ia mengingat lagi kata kata Nara tadi,  Jed telah pergi untuk selamanya.  Ia tidak akan bertemu dengannya lagi, begitu banyak hal menyenangkan yang akan segera hilang secara tiba-tiba.  Rein tertunduk, air matanya menetes satu persatu, makin lama makin deras.  Ia merasakan sakit dalam hatinya, sakit sekali layaknya ditikam pisau berkarat yang mengoyaknya tanpa ampun.  Akhirnya ia hanya bisa menangis dan menangis tanpa henti sampai kamarnya di selimuti kegelapan.  Matahari telah menunaikan tugasnya, meninggalkan bumi dalam genggaman  malam.  Ia pergi untuk esok kembali.  Tapi Jed, ia pergi dan tak akan pernah kembali.  Rein bergelung di atas ranjangnya.  Tangisnya mulai mereda meninggalkan isakan berat.
Tak begitu lama ada suara ketukan di pintu kamarnya.
“Rein, kamu di dalam?”  terdengar suara Lea di luar.
“Rein, boleh aku masuk?” lanjutnya.
Rein tidak menyahut ia membiarkan Lea mengetuk pintunya beberapa kali.
Terdengar suara bisik-bisik di luar.
“Semester ini Rein memutuskan untuk kos?” tanya sebuah suara.
“Iya, katanya dia sudah mulai capek di perjalanan.”
“Aku khawatir Ya.”
“Gak ada apa-apa yang bakal terjadi dengan dia, dia kuat Ra, mungkin dia hanya perlu waktu saja, dan gak mau di ganggu, serahin aja ke aku.”
“Ya sudah, kalau ada apa-apa kamu kasih tahu aku ya.”
“Pasti.” jawab Lea mantap.
Lalu sepi, tidak ada suara suara lagi yang tedengar dari luar.
Rein beranjak, menyalakan lampu kamarnya, tiba-tiba ada ketukan di pintu lagi.
“Rein, aku tahu kamu di dalam, boleh aku masuk.”
Rein membuka pintu untuk sahabatnya, mata nya sembab.  Begitu pintu terbuka, Lea masuk dan menghambur, memeluk sahabatnya yang tengah berduka.

***
Hari ini adalah hari ketiga sejak Rein mendengar berita duka yang mencabik-cabik batin nya. Sepulang kuliah ia selalu mengunci dirinya di kamar. Telah berjam-jam Rein berada di kamarnya, mendengarkan suara Angie Hart dengan lagu Calmly nya yang ia putar berkali kali.  Di luar kegelapan telah menyergap. Rein membuka laptop nya, mengganjal layarnya dengan beberapa tumpuk buku dan menekan tombol powernya pelan.  Kini layar laptop berukuran 12 inchi itu menayangkan tulisan Windows 3.1.  Rein menggerakkan mousenya untuk membuka program manager ketika mendadak ia merasa sangat merindukan Jed.  Rein menutup laptop Compal warisan kakaknya dengan cepat dan beranjak  pergi dari kamarnya.
Rein berdiri terpaku di depan kamar kos Jed yang gelap, dulu kamar itu selalu ramai dengan suara musik entah dari suara kaset ataupun dari gitarnya.  Tapi kini hanya kesunyian yang ada disana.
“Masuk yuk, bantuin aku.” ajak sebuah suara mengejutkan Rein, bulu kuduknya meremang seketika.
“Ini aku, bukan setan.” bisik Nara lagi sambil memegang lengan sweater Rein yang longgar,  mengajaknya berjalan  menuju kamar kos Jed.  Rein mengikuti pemuda itu dengan langkah diseret.
Rein duduk di sisi ranjang mendiang Jed, matanya menyapu seluruh ruangan bercat krem itu.   
Ia memandangi Nara yang tengah melipat baju bengkel berwarna khaki milik adiknya, sementara di kapstok masih ada beberapa baju yang tergantung. Rein meraih salah satunya.  Sebuah jaket denim bermerk Mgee yang sama persis seperti miliknya, tapi yang ini berwarna merah.  Rein ingat ketika mereka mengenakan jaket itu secara bersamaan, Senny mengomentari mereka, bahwa mereka terlihat seperti hiasan Natal di rumahnya.  Rein tersenyum, mencium jaket yang masih ditempeli wangi parfum Jed yang seakan enggan meninggalkan hidungnya. Lalu ia menatap Nara yang tengah merapikan charger laptop Compaq milik adiknya. 
“Aku gak tahu pasti kenapa dia minta di beliin laptop ini ke mami, padahal PC dia masih bagus. Kalau ditanya alasannya, PC gak bisa di bawa kemana-mana, memangnya dia mau kemana? Kayak Esmud aja. Terus dia bilang, Rein juga gak kemana-mana tapi dia punya laptop.”  kata Nara sambil tesenyum kepada Rein.
“Sebesar itu masih sirik aja sama orang lain.” Nara menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Nara membuka laci meja belajar Jed, ia melihat sebuah kotak berwarna coklat dengan tulisan REIN  di atasnya.
“Ini punya kamu?” Nara mengacungkan kotak itu yang sepertinya berisi sesuatu di dalamnya.
Rein menatap kotak itu, dan menggelengkan kepalanya pelan.
“Tapi ada nama kamu di sini.” Nara menyerahkan kotak itu kepada Rein dan duduk di sampingnya.
Tangan Rein gemetar ketika menerima boks itu dari tangan Nara, ia letakkan di pangkuan nya dan memandangi boks berwarna coklat kayu itu tanpa berkedip. 
“Kamu mau bawa itu, bawa aja.”
Rein menggelengkan kepalanya, perlahan ia buka boks itu.
Boks itu berisi potongan-potongan tiket bioskop, event music yang mereka kunjungi, struk pembayaran restoran fast food yang pernah mereka singgahi, gelang kaki miliknya yang terbuat dari tali temali anak PA yang telah lusuh, kaset sublime yang masih baru lengkap dengan plastik tipis dan pita cukainya,  buku TTS bergambar Ita Purnamasari yang isinya telah penuh, sebuah pulpen pilot berwarna hijau yang telah retak bagian tengahnya dan selembar foto hitam putih bergambar wajahnya yang pernah menempel di KTM nya.
Rein sadar, mungkin inilah isi kamar yang pernah membuat Shia berang.  Jed menyimpan semua ini dengan rapi.  Semua kenangan mereka tersimpan apik di dalam boks yang baru diketahuinya sekarang.
Setelah beberapa saat larut dalam kenangan akan barang-barang yang ada di boks itu,  Rein menatap Nara, sejenak ia terpana, ia seakan melihat sosok Jed tengah tersenyum padanya.
“Rein?” Nara membuyarkan lamunannya.
Rein tersentak kaget.  Kini ia tidak lagi menemukan wajah Jed disana, yang ia lihat sekarang adalah wajah Nara dengan dahinya yang berkerut.  Rein seakan bangun dari mimpinya yang indah.  Mendadak ada butiran air mata yang menetes dari kedua matanya.
Nara menatapnya dengan wajah khawatir.  Sejak ia memberitahukan tentang kematian Jed, Nara belum pernah sekalipun melihat Rein menetes kan air mata di hadapannya.  Tapi kini Rein tengah menangis, dan Nara tidak tahu harus berbuat apa. “Maafkan aku kak.” kata Rein parau.
“Kenapa minta maaf, salah kamu apa?”
“Maafkan aku karena selalu melihat bayangan Jed di dalam diri kakak.” Rein terisak.
“Jed masih saja hidup dalam pikiranku, dan setiap kali aku melihat kakak, aku gak bisa melepaskan semua kenanganku akan Jed. Itu sebabnya beberapa hari ini aku gak mau bertemu kakak.”
“Aku tahu, lihat aku Rein.” Nara memegangi kepala Rein dengan kedua belah tangannya dan menghadapkan ke wajahnya.
“Pandang aku lekat-lekat, aku adalah Nara, Naraya. Mulai saat ini tolong tanamkan itu dalam pikiran kamu. Kami berdua berbeda. Kamu gak bisa gini terus.  Hidup kamu terus berlanjut.”
Lelehan air mata Rein semakin deras.
“Mulai detik ini, aku akan selalu ada di hadapan kamu, jadi kamu harus bisa membiasakan diri.”
“Maafkan aku kak.” Rein kembali terisak.
Malam itu Rein melepaskan semua kesedihan yang telah lama membelenggunya dengan menangis di hadapan Nara, tangisan yang membuat dada Nara terasa sesak.
Menangis dapat meringankan beban, itulah yang pernah Nara rasakan.  Dulu ketika Nara merasa di buang oleh papinya, ia menangis di pangkuan tantenya selama dua jam, dan setelah itu, beban berat di hatinya sedikit terasa berkurang.  Dan itulah yang ingin Nara lakukan kepada Rein, membiarkan dia menangis di hadapannya, sepuasnya.  Ia akan menemaninya di sana sampai Rein merasa lega.
Sementara di ambang pintu, Shia menatap nanar mereka berdua.

***
Sebenarnya aku ini siapa ?
Kejahatan apa yang telah aku lakukan di kehidupan masa laluku sehingga kehidupan masa kini ku terasa sangat menyesakkan dada.
Seperti baru kemarin  ayah ku pergi meninggalkan ibuku demi wanita lain, lalu Shia telah jelas jelas  membohongiku, sahabatku Dandy lebih memilih berteman dengan narkoba, dan kini Jed dan Ibu, orang orang yang sangat aku kasihi pergi meninggalkanku untuk selamanya.  Cinta dan kasih sayang rupanya telah meninggalkanku secara perlahan, aku seakan tenggelam, terombang ambing dalam lautan yang dalam tanpa ada satu pun secercah cahaya yang memanduku untuk keluar.
Rein menutup diary nya perlahan.  Melangkah kan kakinya keluar kamar, mengetuk pintu kamar adik kelas nya Rega, dan mengucapkan kata-kata yang hanya mereka tahu maksudnya. 
Nara menatap gadis yang tengah memandangi bulan purnama tanggal 15 yang bersinar terang itu tanpa berkedip.  Gadis itu tengah duduk diam beralaskan ember bekas cucian yang di telungkupkan sedemikian rupa menjadi sebuah kursi.  Wajahnya yang masih terlihat muram berpendar ditimpa sinar bulan yang terang. Sejenak Nara merasakan desir halus di jantungnya.
Nara telah melewati hari-hari yang berat sepeninggal adiknya, tapi gadis di hadapan nya telah melewati hari-hari yang lebih berat di banding dirinya.  Gadis itu telah ditinggalkan oleh dua orang yang sangat ia kasihi secara beruntun.  Belum usai rasa dukanya terhadap Jed, kini, ibunya lah yang pergi meninggalkannya untuk selamanya.  Nara tidak dapat membayangkan bagaimana rasa yang tengah berkecamuk dalam hati gadis itu.
Pakaian yang baru saja gadis itu jemur masih meneteskan air secara berkala, tetesan nya seirama dengan detak jantung Nara.   Nara masih mematung di ujung tangga yang terbuat dari bilah-bilah papan yang terlihat mengkilap karena sering di tapaki, sementara gadis yang ia tatap masih diam memandangi angkasa yang dihiasi oleh bulan dan bintang yang bertaburan.
“Rein.”
Gadis itu menoleh ke asal suara yang sedikit membuatnya terkejut.
“Eh kak, kok bisa ada disini?” Rein tersenyum samar. Nara menghampirinya.
“Tumben gak nuduh aku setan jadi jadian. Di bawah ketemu Rega, dia kasih tahu, kalau kamu ada di sini.” sahut Nara
“Setan? gak lah, gak mungkin setan wanginya kayak gini, kalau kakak pakai parfum yang wanginya kayak kembang tujuh rupa atau bau kemenyan baru aku teriak plus lempar sendal, dari mana kak?”
“Dari kosan, memangnya kenapa?”
“Semerbak banget kayak mau pergi kencan.” canda Rein.
Bahkan diantara kesedihannya, ia masih bisa bercanda.
Nara tersenyum.
“Duduk kak.” Rein menunjuk kursi plastik di ujung dak yang tergolek tak berdaya bersama pot-pot yang tanamannya entah pergi kemana.
“Ngapain kamu di sini? Jemur baju?”  tanya Nara heran, ia melayangkan pandangannya  ke sekeliling dak yang di terangi satu buah lampu TL redup.
“Iya.”
“Malam malam gini?”
“Sudah janjian sama Rega, berharap besok siang bisa kering biar Rega bisa mengambil alih tempatnya.”
“Oh, sudah selesai kan? Terus ngapain masih di sini? Nanti masuk angin loh.”
“Kakak sendiri ngapain disini, nanti masuk angin juga loh.”
“Mau berbalas pantun?” tanya Nara.
Rein tersenyum. Matanya kembali mengangkasa. Mereka pun terdiam sibuk dengan pikiran masing masing.
“Rein, maaf ya aku gak datang ke pemakaman ibu kamu. Mami nyuruh aku pulang, ada keperluan mendadak.”
“Gak apa-apa kak, makasih sudah telpon. Semuanya memang serba cepat, kita memang gak pernah tahu kapan kita akan kembali, cepatkah atau lambatkah. Ibu telah  lama sakit, Tuhan tahu mana yang terbaik untuk hambanya, iya kan kak?”
Nara mengangguk lemah, ia memainkan kancing lengan jaket jeans nya dengan gelisah.
“Beberapa hari kebelakang ini aku merasa hidup ini sangat tidak adil.” Rein merapatkan cardigan hitamnya.
“Aku merasa Dia telah merenggut kebahagiaan ku dengan paksa.”
Nara menundukkan kepalanya dalam.
“Senja itu, aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang berhak bahagia. Kami berjanji akan melalui semua senja bersama.”
“Kami mulai bermimpi, tapi ternyata gelapnya malam telah menghapus semua mimpi kami.  Kami harus menghadapi kenyataan bahwa kami tidak akan memiliki senja yang sama lagi.”
Nara menatap wajah muram gadis yang duduk di sisinya itu.
“Aku marah pada diriku sendiri kak, kenapa selama ini aku harus membuatnya begitu kebingungan. Kenapa aku harus membuatnya merasa gelisah padahal apa yang ia rasakan, aku rasakan juga.”
“Dan ketika akhirnya kami memutuskan untuk menjalaninya, sekejap semua itu hilang meninggalkan jejak yang entah kapan bisa aku hapus. Jed adalah teman terbaikku, bersamanya aku merasakan hidup yang berwarna, kami punya banyak kesamaan, tapi kesamaan tidaklah cukup untuk membuatnya bertahan denganku.”
“Sama seperti ibu, semua rasa sayangku kepadanya tidaklah cukup untuk membuatnya tetap bertahan untuk ku.”
Rein mulai meneteskan air matanya satu persatu lalu mengusapnya dengan cepat.
“Aku merasa menjadi orang yang tidak di inginkan, semua orang mendadak meninggalkan aku.”
“Mereka tidak pernah meninggalkan kamu. Mungkin mereka kini sedang melihat kamu dari atas sana, tersenyum, karena kamu kuat melewati semuanya. Mereka tahu tanpa mereka kamu akan baik-baik saja.” Nara menatap wajah gadis di sisinya lembut.
Kini Rein balas menatap wajah Nara. Pemuda berkulit sawo matang itu tersenyum padanya.
“Beberapa hari yang lalu, perasaanku gak jauh beda sama kamu, dunia ku seakan berhenti berputar. Aku telah kehilangan seorang adik, teman sekaligus sahabat.”
“Aku merasa menjadi kakak yang gagal melindungi adiknya. Dulu, mungkin aku bisa melindunginya dari-masalah masalah kecil, tapi tidak untuk takdir Tuhan.” Nara memainkan kancing lengan jaket jeans kesayangannya.
“Aku harus menerimanya, kita harus menerimanya. Ada rencana Tuhan yang gak pernah kita tahu ke depannya, dan aku yakin Dia akan memberikan hal-hal terbaik untuk kita apabila kita bisa melewati semuanya dengan kuat.”
Rein mengangguk kan kepalanya.
“Kamu tidak sendiri, Rein. Aku akan selalu ada di sini, bahkan ketika kamu sudah tidak membutuhkan aku lagi.”
“Makasih kak.  Kita harus mulai bisa menerima semuanya, iya kan kak?”
“Ya, kita harus mulai bisa menerimanya, karena semakin kita menyangkal rasa duka kita, maka akan semakin besar kedukaan yang akan kita rasakan.” Nara memandang wajah lelah Rein, angin malam menerbangkan helai rambut gadis itu yang kini mulai memanjang.
Lalu mereka pun duduk dalam diam,  menyaksikan cahaya bintang yang memancar di kejauhan, yang seakan memberikan harapan bahwa selalu ada cahaya yang memandu dalam setiap kegelapan.  Mereka pun sibuk dengan pikirannya masing-masing diantara wewangian beraroma bunga dari pengharum pakaian yang menyapa hidung mereka lembut.

***
Waktu berjalan dengan cepat, kesibukan tengah melanda Rein dan teman seangkatannya.  Musim penyusunan Tugas Akhir dan Kerja Praktek yang hingar bingar tengah berlangsung, mengalahkan ketenaran musim pancaroba yang terkadang membuat ketahanan fisik melemah.
Siang itu Rein bertemu dengan Shia di jalan menuju Kantin  setelah ia bertemu dengan dosen pembimbingnya. Shia tiba-tiba mencengkram pergelangan tangannya yang membuatnya terpaksa berhenti dan mendengarkan apa yang Shia katakan.
“Kamu tega membuat Nara selalu ada di samping kamu, menjaga kamu sementara dia punya kehidupan lain di luar sana.” kata kata Shia terdengar tajam di telinga Rein.
“Kamu gak merasa berdosa membiarkan Nara menjadi seperti Jed?” lanjutnya.
“Apa maksud kamu?” tanya Rein, dahinya berkerut.
“Nara dan Jed itu berbeda, kamu gak  bisa bikin Nara menjadi Jed. Mereka memang bersaudara, wajah mereka, gerak gerik mereka hampir sama, usia mereka hanya terpaut satu tahun. Nara ada di sekeliling kamu itu karena terpaksa. Nara gak mau kamu menjadi gila karena Jed pergi. Nara adalah kakak yang bertanggung jawab tapi gak seharusnya kamu membiarkan dia tersiksa seperti itu.“
“Aku gak menginginkan semua ini.” kata Rein pelan.
“Kalau kamu gak menginginkan semua itu, biarkan dia pergi, atau tinggalkan dia.”
Rein terdiam.
“Rein tanganku masih terbuka buat kamu, kalau kamu balik lagi sama aku, aku janji aku gak akan kayak dulu lagi, aku akan benar benar menjaga kamu.”
Rein menatap Shia yang berada di hadapannya dengan galak.
“Aku gak perlu di jaga, aku bukan pos ronda.” seru Rein bergegas meninggalkan Shia.

Rein melanjutkan perjalanannya, kini ia menemui Nara yang tengah menikmati makan siangnya di Kantin Panjang.
“Kakak capek?” tanya Rein tiba-tiba.
“Hah?” Nara terlihat gugup, nasi goreng yang masih dikunyahnya langsung ia telan sekaligus.
Rein menatap mata yang sama dengan milik mendiang Jed itu untuk beberapa detik dan langsung memalingkan tatapannya ke arah anak-anak lain yang sedang menikmati waktu istirahat mereka di kantin yang mulai terlihat ramai itu.
“Habis makan pasti kekuatan kakak balik lagi.  Soalnya setelah ini aku mau ke asrama buat pinjem buku ke Taka, terus ke kantor pos, pulang ke kosan terus ke tempat Umam buat ngebersihin virus laptop.”
 “Maksud kamu apa?” Nara tersipu, ia terlihat salah tingkah.
 “Ngapain kakak ngebuntutin aku?” Rein meneguk teh tawar yang beraroma melati dari gelas milik Nara.
“Aku gak ngebuntutin kamu.” sahut Nara kalem.
“Aku lihat kakak di kantin Jurusan ku,  himpunan,  koperasi, perpustakaan dan terakhir di sini.”
Nara kembali mengunyah nasinya dengan pelan.
“Kak.”
“Hmmm.”
“Kakak belum jawab pertanyaanku?”
Nara menyimpan sendok dan garpunya dengan rapi diatas piring kosongnya, mencecap tehnya dengan santai, meletakkan kedua tangannya diatas meja dan menatap Rein sambil tersenyum.
“Kakak jangan pasang senyum gitu deh.”
“Kenapa? Gak boleh? Senyum itu kan ibadah.”
Rein merengut. “Aku gak suka, aku pergi.”
“Kamu ingin tahu kenapa aku mengikuti kamu?” Nara kini telah berjalan di samping Rein.
Rein diam seribu bahasa.
“Karena aku takut kamu hampir pingsan seperti kemarin.” jawab Nara tenang.
“Tapi aku kan gak pingsan.” protes Rein.
“Nyaris, bisa aja sekarang beneran.”
“Aku gak apa-apa kak, itu cuma pusing biasa kok.”
“Tapi aku gak biasa, dan aku gak mau merasa kecolongan.”
“Kecolongan? Maksudnya?”
“Lepas dari pantauanku.”
“Kenapa, memangnya aku gunung berapi yang harus dipantau terus?”
“Karena kamu memang gunung berapi.”
“Apa maksud kakak?”
 “Gunung berapi itu tiba-tiba bisa meletus karena desakan magma dari dalam perut bumi yang sudah gak terbendung lagi dan kamu seperti itu.”
“Aku bisa menekan semua desakan magma dalam diriku, aku bukan Rein yang dulu.”
“Tapi teori kamu belum terbukti kan? Kemarin kamu hampir pingsan di depan sana, untung Indra lihat, coba kalau enggak, orang lain yang bakal repot.”
“Loh memangnya kakak gak merasa repot kalau aku pingsan di depan mata kakak?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Karena pesan terakhir Jed.”
“Pesan apa?”
“Aku harus menjaga kamu.”
“Kakak gak punya kewajiban untuk itu.”  Rein teringat akan kata-kata Shia.
“Tapi aku harus.”
Dan aku senang melakukannya.
“Aku gak peduli kak, kakak punya kehidupan sendiri. Aku gak mau jadi orang yang mengganggu hidup kakak, dan membuat kakak merasa tersiksa karena aku.   Aku gak mau orang-orang menganggapku telah memanipulasi kakak.  Selama ini kakak telah menjagaku dengan baik, dan aku sangat berterima kasih untuk itu, tapi jangan biarkan aku terlihat tidak tahu diri di mata orang lain karena selalu merepotkan kakak.” tiba tiba Rein ingat perkataan Shia tadi.
“Kenapa kamu berpikiran picik seperti itu, kenapa kamu harus mendengarkan apa kata orang?” tanya Nara gusar.
“Bukan berpikiran picik kak, tapi inilah kenyataannya, aku telah membuat kakak tidak memiliki kehidupan sendiri karena selalu ada untukku.”
Nara menatap Rein seakan tak percaya dengan semua yang baru saja Rein katakan kepadanya.
Hidupku adalah kamu.
“Baiklah, mungkin kamu benar, aku memang bukan teman yang baik buat kamu. Aku mungkin gak layak berteman dengan kamu, atau menjaga kamu, aku pergi.”
“Loh kak bukan gitu maksudnya!” teriak Rein, tapi Nara telah berjalan cepat meninggalkannya.  Rein memukul bibir nya sendiri, mengapa ia bisa berbicara begitu kepada Nara.

***
Rein berguling-guling gelisah di ranjangnya, sebentar sebentar ia duduk, rebahan, berdiri dan duduk lagi.  Rein memikirkan kata katanya yang pernah ia lontarkan kepada Nara.  Rein merasa sangat berdosa.  Nara benar bahwa ia memang nyaris pingsan beberapa waktu yang lalu ketika melintasi jalan di depan Kantin sepulang dari gedung himpunan. Dan Rein tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya bila Indra tidak melihatnya.  Akhir akhir ini Rein memang merasa kesehatannya menurun dratis, tapi ia selalu ingin terlihat baik-baik saja di mata semua orang. Ia selalu menyembunyikan semua rasa sakit yang tengah memerangkapnya.  Ia tidak ingin terlihat lemah di mata teman-temannya.  Seperti halnya peristiwa nyaris pingsannya dahulu.  Rein masih berusaha berjalan tegap padahal kepalanya berdenyut dengan kencang, pandangannya mulai kabur dan kakinya mulai lemas.  Dan ia baru menyadari akan jatuh pingsan ketika tiba-tiba  ia jatuh tersungkur di atas jalanan aspal kampus dengan pandangan mata yang berubah menjadi gelap.  Tak lama pandangan matanya kembali normal ketika ada sebuah tangan yang menggoyang-goyangkan bahunya dengan keras dan memegangi kepalanya dengan panik. Dan itu adalah Indra.
“Ingat-ingat tadi kamu makan apa?” tanya Nara gusar sambil memandangi wajah pucat Rein yang ada di hadapannya.
“Aku gak makan apa apa.” sahut Rein lemah.
“Nah itu dia yang bikin kamu kleyengan, gak makan apa apa.” sahut Indra sambil menunjuk jidat Rein.
“Aku makan kok.”
“Tadi bilang gak makan apa apa, gak konsisten.” sembur Indra.
“Maksudnya makanan aneh, aku gak makan.”
“Pikirin lagi, kamu kan suka makan yang aneh-aneh, jus alpuket campur Fanta grape, pisang sama krupuk, rujak sama nasi.” kata Indra dengan nada mengancam.
“Kenapa kamu jadi sewot sama aku, kepala ku jadi nambah pusing tauk.” Rein merasakan kepalanya seperti di tarik-tarik.
“Dia makan semangka satu piring penuh di warung buah si ibu.” kata Jimmy kalem sambil duduk di sebelah Rein.
“Kok tahu?” tanya Rein pelan.
“Barusan aku ketemu Ronny yang habis nongkrong sama kamu, dia yang cerita, katanya kamu kayak kesurupan makan nya.”
“Setiawan?” tanya Nara.
“Irawan?” tanya Indra.
“Apaan?” tanya Jimmy bingung.
“Ronny.” jawab Nara dan Indra serempak.
“Waduh di bahas.” sahut Jimmy sambil membuka kancing kemeja Hawaiinya.
“Jadi yang mana?” tanya Indra.
“Ya Ronny, nah tuh Ronny yang itu.”
Tunjuk Jimmy kepada seorang pemuda berambut setengah  gondrong yang baru saja melewati mereka.
“Ooh Irawan.” kata Indra dan Nara bebarengan.
“Iya pokoknya Ronny yang itu deh.”
“Memangnya benar kamu kesurupan, Rein?” tanya Indra sambil menunjuk jidat Rein sekali lagi dengan wajah serius.
“Heuh apa sih, tadi aku haus banget kayak lagi jalan di gurun Sahara tanpa onta,  sampai bisa lihat fatamorgana segala. Si ibu warung kehabisan minum, kebetulan ada cep Ronny Irawan itu lagi disana eh terus nyodor nyodorin piring semangka ke aku ya udah aku hajar aja” cerita Rein masih sambil meringis merasakan kepalanya yang seakan akan mau pecah.
“Kamu punya hipotensi ya?” tanya Nara serius.
“Gak tahu.” sahut Rein.
“Anemia?” tanya Nara lagi.
Rein menggeleng sambil memegangi kepalanya yang seperti akan pecah.
“Jantung kamu sering berdebar debar?” tanya Nara lagi bak dokter umum yang sedang mendiagnosa pasiennya.
“Kalo ketemu aku suka berdebar-debar gak?” tanya Jimmy meringis.
Rein manyun menendang kaki Jimmy yang ada di bawah meja.
“Enggak.” teriak Rein menderita.
“Kalo ketemu kakak?” tanya Jimmy lagi sambil menaik-naikan alisnya.
Rein mencibir. “Rese ah, pusing nih.” seru Rein tak sabar.
Nara tersenyum. “Muka kamu sering terlihat pucat kayaknya kamu punya hipotensi plus anemia deh, sering berkunang kunang?”
Rein mengangguk. “Pusing juga kayak di tarik tarik kepalanya.”
Nara pergi sebentar dan kembali membawa satu gelas kopi.
“Minum.” perintah Nara sambil menyodorkan gelas kopi nya di hadapan Rein.
“Aku gak suka kopi.” nada suara Rein terdengar putus asa.
“Harus suka, ini bisa menaikan tensi kamu untuk sementara.”
“Nanti aku pipis terus, tadi makan semangka sekarang minum kopi.”
“Gak apa-apa daripada pusing terus.” Nara bernasehat.
“Ya sudah kalau gak mau kopi, nih garam makan.” kata Jimmy sambil menyodorkan tempat garam milik mamang nasi goreng.
Rein merengut.
“Eh garam juga bisa naikin tensi kamu, iya kan kak?” tanya Jimmy kepada Nara.
“Iya, tapi kopi aja deh Jim, kasian banget kalau makan garam, asin kayak ingus.”
“Malah ngebahas ingus.” protes Rein.
“Bukannya itu hobi kamu, ngebahas ingus?” canda Nara, Rein manyun.
“Kalau gak, marah marah aja, itu juga bisa naikin tensi, tuh si Indra kamu marahin aja.” sahut Jimmy.
Indra yang di singgung namanya mendelik sadis kepada Jimmy. Sementara Rein mencecap kopi yang di sodorkan Nara.
“Terus kamu ngapain balik ke kampus lagi, bukannya baru pulang?” tanya Nara penasaran.
“Tadi ketemu Iwan di jalan, aku bantuin dia bawain barang-barang buat keperluan himpunan.”
“Penderita hipotensi itu gak boleh angkat beban yang berat-berat, itu bisa bikin kamu pingsan.”
“Tapi kan aku gak pingsan kak.”
“Iya, tapi nyaris kan, sampai terjatuh, untung Indra lihat”
“Iya dong, mata aku kan mata Suparman.” kata Indra bangga.
“Superman.” teriak Jimmy dan Rein bebarengan.
Setelah mengingat peristiwa nyaris pingsannya, Rein kembali berguling di ranjangnya dengan gelisah.

Hari ini Nara tengah berada di ruangan dosen pembimbingnya bersama Andre, partner TA nya.  Alih alih mendengarkan apa yang di utarakan oleh bapak dosen berkumis tebal itu, pikirannya malah entah pergi kemana.  Genap sudah satu minggu ini, ia tidak bertemu dengan Rein, ada rasa aneh yang muncul di hatinya, rasa rindu yang sangat.

****
Rein termenung di depan televisi Redi yang tengah menyala.
Televisi Redi adalah satu satu nya televisi yang ada di kompleks kosan yang memiliki kamar berjumlah kurang lebih 20-an itu. Hitam putih tapi memberi warna kepada penontonnya yang haus akan hiburan visual.  Biasanya ada saja yang memelototi televisi itu.  Duet, trio, kwartet bahkan sampai satu grup ensemble. Dulu sebelum Mayang punya pacar, Rein kerap menonton televisi itu bersamanya, biasanya sambil melahap mie instan rasa ayam bawang buatan ibu kos  yang selalu terasa asin di lidah mereka.  Perut kenyang adalah kambing hitamnya kemalasan, begitu pula yang terjadi dengan Mayang dan Rein.  Imbasnya mereka pun saling tuduh untuk memindahkan channel televisi itu dan aksi ribut mereka langsung membangunkan si pemilik kamar, Redi.
Redi berjalan terhuyung, rambut nya kusut, sambil menguap lebar, ia memandang Mayang dan Rein secara bergantian lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Hidungnya masih ditongkrongi oleh jerawat langganannya yang hari ini statusnya waspada.  Dengan gaya sempoyongan ala sang drunken master, Wong Fei Hung, Redi meraih sapu ijuk yang ada di sebelah Mayang lalu menggunakan gagang sapu itu untuk memindahkan chanel televisi nya.
Lalu Redi pun berbaring dengan posisi pantai di depan si hitam putih yang terlihat merana.  Dengan gaya pesenam lantai Sea Games, ia pun mengulurkan kakinya untuk memindahkan chanel televisi nya.  Si televisi pun terbatuk-batuk karena wangi kaki Redi yang menampar hidungnya telak.
Setelah Redi mendemonstrasikan bagaimana cara memindahkan chanel televisi dengan baik dan benar tanpa harus beringsut, ia pun kembali menjatuhkan dirinya di ranjangnya yang terhalang oleh pembatas ruangan  dan melanjutkan acara tidur siangnya dengan damai sedamai hati Rein dan Mayang yang kini mulai mempraktekkan ilmu yang baru saja mereka dapatkan.
Rein menyeringai, mata nya masih menatap layar televisi hitam putih itu, sementara Mayang telah pergi meninggalkannya demi menemani latihan nge-band pacarnya, abang.
Film kartun di hadapan nya sama sekali tidak bisa menghiburnya. Perasaan hatinya terkadang masih terasa pahit.  Ia sama sekali tidak bersemangat menghadapi hari-harinya, rasa rindu terhadap Jed dan Ibunya masih menyelimuti hatinya, menggoreskan perasaan hampa yang tidak berkesudahan.  Air matanya telah mengering karena telah terkuras habis.  Rein memang masih bisa tersenyum bahkan tertawa di hadapan teman-temannya tapi itu adalah caranya untuk menutupi rasa sepinya. Rein hanya tidak ingin teman-temannya melihat dirinya begitu lemah terhadap kedukaan.  Tapi hari ini lelah melanda batin nya, sejak pagi tadi Rein sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun, ia  hanya berdiam diri dengan pikirannya yang pergi entah kemana.
Dulu, ia selalu berdiam di kamar Umam ketika hatinya gundah, tapi kini kamar itu selalu tertutup rapat karena Umam sedang kecanduan bermain game di tempat kos teman sekampungnya yang juga adik kelasnya, Koko.
“Nih.“ tiba tiba Redi membuyarkan lamunannya dengan menyentuhkan sebuah raket bulutangkis yang bukan bermerk Yonex  itu ke bahu Rein.
Rein menaikan alisnya.
“Kamu di atas kasur, aku disini.” Redi mengajak Rein beranjak dan mendorongnya ke ruangan sebelah yang berisi ranjang lengkap dengan kasurnya yang empuk.
Bagai kerbau di cocok hidung, Rein melakukan apa yang Redi perintahkan. Rein berdiri di ranjang dengan raket bulutangkis nya, sedangkan Redi berada di ruangan depan.  Pembatas ruangan yang terbuat dari jalinan rotan menjadi net mereka.
“Badminton di manaa manaa di kampung jeung di kotaaa.” suara Redi mengalun bak sinden yang sering ada di pagelaran wayang golek sambil melakukan serve kepada Rein.
Rein tertawa, kegundahan hatinya mendadak hilang di telan suara Redi yang cempreng dengan logat sunda Tasikmalayanya. Semenit kemudian mereka pun terlibat permaian bulutangkis yang seru.   Mereka saling smash dengan di selingi terikan teriakan heroik yang membahana.
“Orang orang gila.” seru Umam ketika ia baru saja datang dan melongok kan kepalanya di pintu kamar Redi lalu melengos pergi.
“Red, ada Rein?” kini giliran kepala Lea yang kepalanya menyembul dari pintu kamar Redi.
“Ada.” jawab Redi tanpa menghentikkan aksinya.
“Mana? Di tempat Umam? Ada yang nyari dia nih.” sahut Lea tak sabar.
“Tuh di dalam, smash.” teriak Redi sambil tergelak.
Terdengar teriakan tercekat keluar dari mulut Rein.
“Ya ampun, kamu mau jadi titisan Susi Susanti?” Lea masuk dan menghampiri Rein.
“Liem Swie King.” sahut Rein dengan gegap gempita.
“Ya ampun Rein itu kasur kamu injak injak, udah gak berupa gitu.”
“Titah paduka Redi.” sahut Rein dengan nafas ngos-ngosan.
“Di depan kan ada halaman luas kenapa gak pada main di sana sih?” Lea mulai protes.
“Di depan gak ada net nya.” sahut Redi.
“Kalo gitu di GOR sebelah tempat kos aku aja.”
“Too mainstream iya kan Red?” teriak Rein.
“Yoi coooyy.” seru Redi asal.
“Haduh, turun, ada yang nyari kamu.” perintah Lea galak.
“Siapa?” Rein meniup kok di tangannya.
“Kakak ketemu gede kamu.” sahut Lea.
“Hah, kak Nara? Kesini? Kok bisa?” Rein turun dari ranjang Redi, ia sedikit terkejut mengapa tiba-tiba Nara menemuinya, padahal sebelumnya Rein telah membuatnya marah.
“Tadi ke kos aku nyari kamu.” terang Lea.
“Time out Red.” seru Rein .
Redi langsung terkapar di lantai dengan peluh sebesar besar biji salak memenuhi wajahnya.
Rein melihat Nara sedang bersandar di tembok teras kamar Redi.
“Eh kak.” Rein terlihat salah tingkah.
“Hei.”  senyum terkembang dari bibir Nara.
“Kakak sudah gak marah sama aku?  maafin aku ya, aku salah sudah ngomong kemarin, padahal maksud ku bukan gitu.” cerocos Rein sambil mengusap keringat yang menetes di dahinya.
“Ngomong apa ya kamu kemarin, aku kok gak ingat.” sahut Nara sambil mengerutkan dahinya berlagak mengingat ingat sesuatu.
Rasanya rindu sekali tak berbicara dengannya selama beberapa hari.
“Tapi kok kakak ngilang.”
“Kenapa, merasa kehilangan?” goda Nara.
Rein merengut dan membalikkan badannya cepat cepat.
“Eh mau kemana, aku mau pinjem kamus Inggris kamu.” teriak Nara.
“Pantesan ada perlunya,  hayuk ke kosan, eh bentar deng lupa” Rein masuk ke kamar Redi lagi.
“Mau ngapain lagi?” tanya Lea sewot.
“Mau pinjem kaset.”
“Kaset apa?” tanya Redi.
“Semi Classic nomer opat tea (nomor 4) Red.”
“Oh ada di dalem tape, ambil aja, tapi jangan di kusutin ya pitanya.”
“Gak lah mau ngerekam doing.” Rein mengeluarkan kaset yang berisi komposisi lagu lagu klasik yang dimainkan oleh sebuah orkestra yang berasal dari negerinya Lee Kuan Yew itu dari tape mobil yang dirubah Redi menjadi tape meja.
Setelah puas beradu kata kata dengan Lea, kini Rein dan Nara berjalan berdampingan mendaki tangga semen yang kasar, keluar dari areal kosan Redi dan mulai celingukan kiri kanan untuk menyebrangi jalan yang tak ramai.
“Kalian aneh.” ujar Nara.
“Kenapa?” tanya Rein, ia sibuk menyibakkan rambutnya yang telah memanjang karena tertiup angin yang menerpanya.
“Main bulutangkis kok di kamar.”
“Redi yang ngajak, dia kan memang rada rada aneh.”
“Ah sama aja kayak kamu.” sahut Nara sambil tersenyum dan melirik Rein yang tengah memandangi kaset pinjamannya.
“Kenapa atuh kakak mau nemenin orang aneh kayak aku, nanti jadi ketularan loh, aneh kan virus.”
Nara tertawa.
Karena aku selalu menyukai keanehan kamu.
“Kaset apa?” tanya Nara mengalihkan pembicaraan.
Rein menyerahkan kaset milik Redi itu ke tangan Nara. Nara membaca covernya lalu membaliknya dan melihat track list yang berada di bagian belakang cover kaset itu.
Bach, Chopin, Beethoven, Mozart, Tchaikovsky, sampai David Clyderman.  Pikiran Nara langsung melayang pada semua acara pentas resital piano yang pernah ia lalui.  Beberapa komposisi di dalam kaset itu pernah ia bawakan.
“Aku paling suka Etude no 3 nya Chopin dengan Air on The G string-nya Bach. Dua komposisi itu powerful banget bahkan bisa mengobati sakit gigi ku.” Rein tertawa lepas.
Nara masih ingat benar dengan Etude nomor tiga itu, itu adalah lagu terakhir yang ia bawakan di pentas resital pianonya yang berakhir dengan rasa pahit di hatinya.
“Musik klasik terutama milik Mozart sama Beethoven kabarnya bisa membuat seorang bayi yang ada dalam kandungan menjadi lebih aktif dan cerdas, makanya di luar negeri sana sudah mulai banyak ibu ibu yang mengandung  memperdengarkan musik klasik ke calon bayi mereka. Jadi nanti anak yang di lahirkan diharapkan dapat sepintar Einstein, katanya sih sudah ada penelitiannya segala.” Rein menoleh ke arah Nara yang masih memandangi cover kaset itu sementara ia telah membuka pintu kamarnya.
“Hmm gitu ya.” sahut Nara sambil bersandar di dinding kamar kos Rein.
“Nih kak kamusnya.”
“Sejak kapan kamu suka klasikan?” tanya Nara penasaran.
“Sejak Redi sering setel kaset kasetnya. Redi kan penggemar segala sesuatu yang klasik.”
Nara mengangguk angguk.
“Aku sih gak bisa dengerin lagu klasik yang panjang-panjang, too heavy kak, kapasitas otak ku kecil. Ya harus yang tipe-tipe kayak gini lah, kalau yang heavy heavy enggaklah, sama kayak heavy metal, heavy tamala.” kata Rein ringan.
“Epi kali itu mah.” Nara tergelak.
“Kakak sudah ketularan logat orang sini rupanya, Evi kak bukan Epi.”
Nara tersenyum. “Mandi sana.” perintahnya.
“Memangnya mau kemana?” tanya Rein heran.
“Oh jadi kamu mandi kalau mau pergi aja?”
“Irit air.”
“Ya sudah mandi sana, kita pergi.” Nara kembali memerintah Rein.
“Kemana?” tanya Rein penasaran.
“Kemana aja deh, cepetan.”
Rein pun beranjak, sambil masih terheran heran.
“Pakai jaket.”  Nara meraih jaket denim hijau Rein dari kapstok dan mengulurkannya kepada gadis yang kini terlihat segar itu.
“Ke mas Nano doang mah gak usah pakai jaket kali kak.”
“Gak ke mas Nano, yuk cepetan.” Nara memasukkan kaset semi klasik Redi ke saku celana jeans nya.
“Kak jangan misteriusan gini dong, kakak kayak Alfred Hitchcock aja.”
Nara tertegun sejenak, mendiang adiknya pernah mengatakan ini sebelumnya., kembali terbayang senyum terakhir Jed yang sempat membuatnya tidak dapat memejamkan mata selama dua hari berturut turut.
Rein tergopoh-gopoh mengikuti langkah langkah lebar Nara yang berjalan mendahuluinya.
“Jadi aku musti mandi ya kalau mau masuk ke kosan kakak, sekalian aja pasang batas suci di pintu nya.” seru Rein nyinyir begitu ia menyadari mereka kini telah berada di depan kosan Nara yang tenang.
Tanpa berkata kata Nara masuk ke dalam kamarnya.
“Ini kan motor si Indra kemana orangnya?” Rein melongok ke dalam kamar, ia melihat Indra tengah serius bermain game di komputer milik Nara.
“Tumben di sini? Biasanya di tempat ...” Rein menggantung pertanyaannya.
“Shia?” tanya Indra, matanya masih tertuju ke gambar-gambar grafis yang bergerak cepat di hadapannya.
“Ya begitulah.”
“Ogah, pacarnya sering dateng.”
“Winda?”
“Bukan artis pemeran pengganti kamu itu, tapi anak baru namanya Syasya. Tiap hari ada terus sekarang, udah kayak malaikat Rokib sama Atid aja mencatat amal baik dan buruknya Shia.”
Rein mencibir kepada Indra. Nara melirik Rein, meraih tangannya mengajaknya beranjak.
“Ndra pergi dulu ya.” Nara berpamitan.
“Iya, bawa ketan bakar ya, hati hati jangan kayak Shia ya bikin penyok motor ku.” teriak Indra serius.
“Aku kan gak sedang marah, Ndra.” sahut Nara asal.
Rein mendelik ke arah Nara yang masih tersenyum simpul.
“Naik.” perintah Nara kepada Rein.
Rein ragu.
“Hayuuuk, cepetan.” lanjut Nara.
“Kakak dari tadi ngomong cepetan melulu, aku tuh masih berupa Barry Allen belum jadi The Flash yang bisa cepet ngapa-ngapain, mau kemana?”
Nara menyeringai. “Dan aku bukan penumpang ojek yang terus ditanya-tanya mau kemana, naik aja, jangan berisik.”
Rein mencibir. Motor Indra pun melaju dengan tenang membelah keramaian Jalan Geger Kalong Hilir membelok di Jalan Setiabudhi ke arah Lembang yang terasa nyaman di sabtu sore itu.
“Kak berhenti dulu.” seru Rein tiba tiba.
“Kenapa? Mau kemana?”
“Mau kesitu dulu.” Rein turun dari motor dan masuk ke dalam lapak kecil yang menjual perlengkapan naik gunung.  Lapak itu berupa ruangan kecil yang terbuat dari kayu kayu dan ditata dengan rapi.  Di dalam lapak itu, Nara melihat ada barisan dompet berbahan parasit, karabiner, gelang-gelang yang terbuat dari tali temali, bandana, pisau belati, sampai lampu minyak untuk berkemah.  Nara memandangi gelang berwarna biru yang sangat menarik matanya.  Sedangkan Rein menatap puas, dompet berwarna hijau yang kini ada dalam genggamannya.
“Beli dompet?”
“Yap, kemarin dompet ku hilang.”
“Kok  bisa, di curi? Dimana?”
“Di kampus.”
“Ah masa ada pencuri di kampus, di angkot kali atau di bis.”
“Nah itu kak, aku juga gak nyangka. Aku kira kampus itu adalah salah satu tempat bebas pencuri tapi nyatanya enggak.”
“Memangnya pasti di kampus hilangnya?”
“Yap, jadi ceritanya gini, aku kan ke toilet, saat itu sepi gak ada siapa siapa, aku taruh tas ku di luar toilet. Aku kan berprasangka baik kayak kakak, eh tapi nyatanya kampus sama gak aman nya dengan bis kota.”
“Gak ada cek, giro sama uang dollar -nya kan di dalam dompet kamu itu?” tanya Nara tersenyum. Rein merengut
“Lain kali hati hati, sekali kali prasangka itu bisa menyelamatkan kita.”

***
Malam telah menjelang ketika Nara dan Rein sampai di tempat tujuan.  Beberapa warung jagung bakar yang berdiri di sepanjang Jalan Raya Lembang telah menanti mereka.  Dari tempat itu meraka dapat menikmati  lampu lampu yang berkerlip indah di cekungan kota Bandung.
“Oh jadi ini tempat misterius kakak?” tanya rein sambil manggut-manggut.
“Gak semisterius Alfred Hitchcock atau mungkin semengerikan Stephen King kan?”
“Ya mungkin sedikit merinding ala R. L Stine, bukan karena takut melainkan dingin. Aku belum pernah nongkrong di sini, ke Lembang biasanya sama anak-anak minum susu makan roti bakar di Sumur.”  Rein merapatkan jaketnya.
“Oh tempat yang tadi kita lewatin itu ya?”
“Iya, kakak pernah kesini?”
“Beberapa kali, dulu pas tahun tahun pertamaku di sini sama teman teman kosan. Terakhir ke sini tahun lalu kalau gak salah sama Shia.”
Rein mengangguk anggukkan kepalanya, Nara dan Shia memang sahabat karib, tapi sepertinya hubungan mereka merenggang semenjak ia dan Shia jadian.
“Bandung malam hari bagus banget dilihat dari sini.” kata Rein, wajahnya di penuhi oleh ekspresi kekaguman.
“Aku suka suasana  gini.” lanjutnya riang.
Nara mengeluarkan walkman Sony dari dalam tas sling Eigernya.
“Paling cocok adalah melihat kerlap kerlip lampu kota dari kejauhan sambil dengerin Air on The G String,  coba deh, nih.” Nara mengulurkan Walkman nya.
Rein mengerutkan keningnya heran. “Kakak bawa kasetnya Redi?”
“Iya, kamu gak notice ya? Pantes aja dompet bisa hilang, ceroboh.”
“Kakak aja yang kayak maling.”
“Eh nuduh aku?”
“Kan gak mungkin kayak ninja, ninja aja gak kayak kakak.” Rein tertawa sambil memasang satu buah earphone di telinga kirinya, mengulurkan satu earphone yang lain ke arah Nara.
Nara menggeleng, Rein memaksa, ia memasangkan satu earphone ke telinga kanan Nara.
“Berbagi itu menyenangkan kak.”
Air on The G String mengalun indah di telinga mereka.  Lampu lampu di bawah sana seakan ikut menari dengan nada-nada indah milik Johan Sebastian Bach itu.  Nara benar, lampu-lampu itu seakan hidup, bagaikan beberapa ballerina yang tengah menari dengan gemulainya.  Rein tersenyum. Karena terbius dengan indahnya pemandangan dan lagu yang ia dengarkan, ia tidak menyadari bahwa Nara tengah memandangi wajahnya tanpa berkedip.
“Etude nomor 3 dimainkan di E Mayor, gimana rasanya bisa memainkan komposisi itu kak?”
“Eh euh apa?” Nara terkejut lalu merasa gugup.
“Gimana rasanya bisa ada di panggung besar, duduk dihadapan grand piano yang juga besar dan di tonton banyak orang sambil mainin komposisi favorit aku ini?” Rein memejamkan matanya sambil menikmati komposisi milik Frederic Chopin itu dengan khidmat.
“Jed yang cerita sama kamu?” tanya Nara.
Rein mengangguk. “Jed banyak cerita tentang kakak, dia sangat mengagumi kakak.” kata Rein lirih.
Nara menghembuskan nafasnya panjang.“Rasanya sangat menyiksa. Terpaksa menjalani sesuatu yang gak kamu suka, sementara ada hal yang kamu sukai menanti kamu di luar sana.”
“Tapi kan kakak suka musik, ada yang salah dengan grand piano dan klasikan?” Rein melepas earphonenya, begitu juga Nara.
“Ada yang salah dengan rok?”
“Maksud kakak?”
“Ya kamu, gak suka pakai rok kan? Itu sama saja dengan aku gak suka main klasikan. Rok sama celana kan sama sama pakaian tapi berbeda genre, begitu juga klasikan sama grunge, iya kan?”
Rein tersenyum dan mengangguk angguk.
“Hari itulah awal memburuknya hubunganku dengan papi”
Nara ingat, saat itu hari terakhir di bulan Desember yang merupakan hari dimana ia harus mengikuti pentas resital piano yang di selenggarakan setiap tahun oleh tempat les musiknya. Seperti saat saat menjelang pentas resital lainnya,  Nara melakukan ritual memandangi dirinya di cermin ukiran jepara milik maminya.  Setelan jas hitam yang rapi beserta seuntai dasi berwarna merah melengkapi penampilannya malam itu.
Nara melihat jam tangannya berulang kali, ada selembar kertas di tangan kanannya. Terngiang kembali kata kata Leo tadi siang di ujung telpon.
“Ra, usahin lah ya, aku tahu resital itu penting buat kamu sama keluarga kamu, tapi acara kita juga penting kan, kita juga keluarga kamu kan? Ini saat nya kita kasih lihat kalau grunge itu gak melulu Nirvana. Aku tahu kita bakalan gak dianggap nantinya tapi setidaknya kita menyuarakan apa yang ada dalam pikiran sama jiwa kita.”
Nara sangat gelisah, sebenarnya ia sama sekali tidak tertarik dengan piano klasik, seperti kebanyakan remaja seusianya ia lebih tertarik berkumpul dengan teman-temannya dalam sebuah band rock. Tapi papi nya telah memaksa nya untuk les musik dengan spesialisasi piano klasik, dan hari ini adalah resital yang entah keberapa kalinya.  Nara merasa piano klasik bukanlah apa yang di inginka nya.
Nara sibuk melihat jamnya lagi dan lagi, kini gilirannya maju ke stage berlatar serba hitam itu.  Sebuah grand piano bertengger angkuh di depannya.  Telah beberapa kali ia melakukan ini tapi masih saja ada rasa tak nyaman dalam hatinya.  Nara duduk rapi di depan hamparan tuts-tuts piano yang terasa mengancamnya. Papi, Mami, Jed, Kanaya dan Kinanti terlihat ada di barisan terdepan menonton nya.
Nara menyelesaikan Etude No. 3 nya dengan baik, membungkuk dan tergesa meninggalkan venue itu ditengah gemuruh tepuk tangan yang membahana. Dengan secepat kilat, ia pun berlari keluar.
Kini Nara telah berada di atas stage yang berbeda, tidak ada alat musik yang bertengger angkuh disana. Yang ada hanya stage sederhana dengan kerumunan yang cukup padat.  Jas nya masih menempel erat di tubuhnya yang membuat banyak anak anak lain mengerutkan keningnya melihat penampilannya yang sedikit diluar kebiasaan anak anak grunge yang lebih menyukai  kemeja flanel, jeans kumal, dan T Shirt seadanya.
Why go dan Alive meluncur manis dari bibir nya sementara jemarinya sibuk memainkan nada nada dengan riff-riff kasar milik Pearl Jam itu.
Tidak ada sambutan hangat dari kerumunan, mereka tidak terbiasa mendengarkan lagu dari band grunge satu itu.  Tapi Nara, Leo, Widi dan Bimo tak mengubris mereka.  Mereka tetap asik memainkan komposisi musik yang mereka sukai itu dengan indah.
“Grunge itu Nirvana man, kalian salah pilih lagu.” teriak seseorang dengan lantang ketika Nara dan teman temannya turun dari stage. Tapi empat pemuda tanggung itu sama sekali tidak memperdulikannya.
Tiba tiba ada suara kasar menggelegar yang mengejutkannya.
“Oh jadi gini kelakuan kamu, meninggalkan resital hanya demi musik gak jelas kayak gini?” wajah papi nya terlihat merah padam menahan amarah.  Nara bingung dari mana papi nya tahu bahwa ia melarikan diri ke tempat ini.  Lalu ia pun melihat Jed yang menyembunyikan wajahnya di belakang punggung papi nya.
“Kamu main gitar? ini gitar kamu? Papi gak pernah membelikan gitar buat kamu.”
“Aku nabung, Pi.” jawab Nara lemah.
Dengan kasar papinya merebut gitar yang di tenteng Nara dan tanpa berkata apa-apa membantingnyanya merusaknya di depan teman temannya persis seperti adegan seorang gitaris yang tengah membinasakan alat musik petik itu setelah usai perform.  Nara terkejut bukan alang kepalang melihat gitar nya terkulai lemas di lantai.  Hatinya hancur berkeping-keping seperti hal nya gitar kesayangannya.  Tidak hanya Nara tapi semua yang ada di tempat itu terkejut atas insiden itu.
“Aku menyukai musik rock terutama grunge, musik yang membuatku merasa lepas dan bebas, musik yang bisa mewakili semua perasaan gelisahku.” tatapan mata Nara menerawang jauh.
 “Kamu tahu, susahnya menjadi anak sulung, kamu harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adik kamu dan harus memenuhi semua ekspektasi orang tua kamu.” lanjutnya.
“Papi gak tahu,  kalau aku ngeband, tapi akhirnya dia tahu pada hari itu.”
“Siapa yang kasih tahu?”
“Jed.”
“Kok?”
“Ya, papi paksa dia buat terus terang. Jed merasa bersalah tapi aku gak pernah nyalahin dia.  Semenjak kejadian itu, Jed jadi adik yang baik bagiku, sepertinya dia ingin membayar apa yang pernah ia lakukan padaku sebelumnya, walaupun aku tidak menginginkan itu.  Aku menyayangi dia tanpa syarat apapun.”
“Aku masih ingat semua peristiwa buruk itu, sampai saat ini hubungan aku sama papi gak pernah seperti dulu lagi,  bila bertemu kami masih seperti dua orang asing.”
“Maksudnya kakak belum baikan sama papi?”
“Ada peristiwa lain yang membuat papi benci sama aku”
“Apa?”
“Panjang ceritanya, sudah malam pulang yuk”
Rein mengangguk. “Maafin aku kak, kalau tahu kakak bakal mengingat kejadian gak enak ini, aku gak bakalan memperlihatkan kaset ini ke kakak.”
“Kalau kamu gak memperlihatkan kaset ini, aku gak akan pernah merasa lega seperti sekarang.”
“Maksud kakak?”
“Berbagi itu ternyata benar-benar  menyenangkan, itu kata kamu tadi kan?”
Rein tersenyum.
“Rasa nya lega bisa berbagi cerita dengan kamu.” kata Nara pelan.
“Kakak boleh cerita apa saja sama aku.”
Lalu mereka pun terdiam.  Nara terlihat resah, ia memandangi wajah Rein lekat lekat.  Apakah ini waktu yang tepat untuk mengatakan kepadanya batinnya
 “Rein, sebenarnya aku …” Kalimat Nara terputus ketika ia mendengar jeritan lirih keluar dari bibir Rein yang tengah duduk di sampingnya.
“Kenapa ? Kesemutan?” tanya Nara bingung.
“Kram.” Rein mendadak meringis dan memegangi kakinya yang kram.
Nara memegangi kaki Rein.“Dingin banget kaki kamu.”
“Aku memang berdarah dingin kak, tapi bukan kayak  Jack the Ripper.” kata Rein sambil masih meringis,
Nara tersenyum. Dan mulai memijit kaki Rein dengan lembut. “Gimana? Sudah baikan?”
Rein mengangguk. “Makasih kak.”
Rein menarik kakinya. “Kak”
“Apa?”
“Kaki ku.”
“Kenapa?”
“Itu masih kakak pegangin.”
“Oh, iya, eh sebentar.” Nara mengeluarkan sesuatu dari saku jaket jeansnya, dengan cepat melingkarkan sebuah gelang yang terbuat dari tali ke pergelangan kaki Rein.
“Apa itu kak?”
“Ganti gelang kaki kamu yang putus.”
Rein memegangi gelang kaki berwarna biru itu. “Kakak dapat dari mana?”
“Ya dari tempat kamu beli dompet tadi.”
“Loh kok aku gak merhatiin ya.”
“Kamu kan begitu.”
“Bagus, aku suka, biru adalah warna favoritku, makasih kak.”
“Sama sama.” Nara tersenyum.
“Eh tadi kakak mau ngomong apa? Sebenarnya apa?” tanya Rein dengan wajah polos.
“Oh tadi, Enggak gak ada apa apa kok.” Sahut Nara berbohong, Ia mengurungkan niatnya karena ia sadar dan takut apa yang akan di katakannya malah akan membuat hubungan pertemanan mereka rusak.   

***
Rein memetik gitarnya dengan serius, ia sedang mencoba trik menyetem gitar dengan baik dan benar ala Umam.  Rein berkali-kali memutar putaran gitarnya dan memetik senarnya tapi tetap saja ia belum menemukan nada yang pas.  Print out chord dan lirik lagu yang ia dapat dari Umam seakan mengolok oloknya tanpa ampun.  Ia mencibir dan melemparkan kumpulan kertas kertas HVS yang telah lecek itu menjauh dari hadapannya.
Tetangga kosannya yang ahli bermain gitar sedang pergi entah kemana, tidak ada satu pun yang menongolkan batang hidung nya ketika ia membutuhkannya. Rein mendengus sesaat, lalu kembali menekuri gitar warisan kakaknya itu.
Akhirnya ia frustasi, Rein mengacak-acak rambutnya sendiri lalu memainkan gitarnya dengan asal asalan. Setelah puas melampiaskan nafsu angkara murkanya, ia pun mengenyahkan gitar berwarna coklat tua itu dari pangkuannya.
Karena keseriusannya yang sangat tak lazim itu, membuat Rein tidak menyadari ada yang berdiri di ambang pintunya sambil tersenyum-senyum.
“Kamu kenapa?” tanya Nara tiba-tiba.
Rein terlonjak dari duduknya.
“Haduh kakak ngagetin aja kenapa gak ketuk dulu.”
“Ngapain ngetuk, orang pintunya kebuka kok.”
“Ya sampurasun dulu kek.”
“Rampes.” sahut Nara kocak.
Rein cemberut, Nara menghampirinya, dan duduk di samping Rein.
“Kenapa ya kok aku oon banget di bidang ini.”
“Bidang apa?”
“Ini, musik.”
“Ah kata siapa, aku pernah lihat kamu nyanyi, bagus kok, masih berirama, gak kayak pengamen terminal.”
“Kapan? Kakak ngarang ya? aku gak pernah nyanyi di depan kakak.”
“Ah masa, aku lihat di acara perpisahan si Jo.”
“Oh iyaaa aku lupa aku lihat kakak disana, kakak ngapain disana?”
“Lha kamu ngapain?”
“Aku kan diajak Shia.”
“Aku juga diajak Shia, tuh lanjutin acara nyetem kamu itu.”
Rein manyun. “Ya nyanyi okelah tapi aku gak bisa nyetem gitar dengan baik dan benar kak.”
“Bisa main kok gak bisa nyetem.”
“Ya gak tahu kak, bakat kali.”
“Bakat apa?”
“Bakating gak bisa.”
Nara tertawa.
Rein kembali meletakkan gitar nya di pangkuannya dan mulai melakukan ritual yang sama dengan apa yang ia lakukan sebelumnya. Putar, petik, putar, petik, tanpa hasil.
Nara terlihat gelisah, ia memandangi wajah serius Rein dan gitar yang di penuhi tempelan stiker Dagadu, merk T Shirt terkenal asal Jogja itu.
Rein mengoceh tak henti henti memprotes dirinya sendiri dan memarahi gitarnya yang hanya bisa diam seribu bahasa.
Akhirnya Nara tidak tahan lagi, ia merebut gitar itu dari pelukan hangat pemiliknya.  Rein terkejut tapi tak lama ia tersenyum samar.
Nara memutar putarannya dan memetik senar senar gitar itu dari nada terendah hingga tertinggi dengan sangat cepat.
“Senarnya kurus banget kayak kamu.” kata Nara sambil mengembalikan gitar yang entah bermerk apa itu ke pangkuan Rein.
“Dulu sih satu tingkat lebih tebal,  bikin jariku sakit, itu Umam yang ganti.”
“Ketinggian juga sih letak senarnya.” sambung Nara.
“Iya, tapi minimal sakitnya gak jadi dobel dobel kan kak, setelah senarnya di ganti dengan yang lebih kurus.” terang Rein sambil mencoba hasil seteman Nara dengan lagu andalan nya yaitu Bizzare Love Triangle nya Frente!. 
Hujan terdengar bergemeretak di genting kosan Rein, ia terlonjak, dengan secepat kilat ia meninggalkan Nara menuju dak untuk menyelamatkan jemurannya.
Nara menatap gitar yang tergeletak di ranjang Rein. Tangannya pelan mengusap badan gitar itu dengan lembut.  Nara tahu ia sangat merindukan hal itu, tapi bayangan akan papinya masih menghantuinya.
Nara menjenti kan senar-senar gitar yang baru saja ia setem.  Ia mulai mengangkat gitar itu dan meletakkan di atas pangkuannya, tiba tiba ia merasa gelisah, keringat dingin membasahi tubuhnya, dengan cepat ia meletakkan gitar itu kembali di atas ranjang Rein.  Nara menarik nafas panjang.  Nara tidak tahu bahwa Rein telah berdiri di ambang pintu dan memperhatikannya.
Rein meletakkan jemurannya dengan asal di sisi ranjangnya yang lain. Lalu ia duduk di samping Nara, menggapai gitarnya dan meletakkan nya di pangkuan Nara.
 “Kakak gak rindu dengan ini?”
Nara menggeleng dan menyerahkan gitar itu kepada Rein kembali. Tapi tangan Rein  menghalanginya, ia kembali menyerahkan gitar itu kepada Nara.
“Kak, di sini cuma ada aku, dan aku bukanlah papi.  Sama seperti kakak, aku menyukai gitar, gitar adalah alat musik pertama yang aku kuasai.  Aku akan sangat senang apabila kakak mau mamainkan satu saja lagu untuk ku. Papi gak perlu tahu ini semua, kita akan jaga rahasia kan ini, cuma aku dan kakak yang tahu, lepaskanlah rasa rindu kakak, karena itu akan terasa sangat melegakan.“ Rein meletakkan kedua tangan Nara di posisinya.
“Aku janji, hanya aku dan kakak yang tahu. Bahkan bila tiba-tiba sekarang papi nongol di depan pintu, aku akan melindungi gitarku yang cuma satu satunya ini  sampai tetes darah penghabisan.” lanjut Rein berapi api.
Nara tersenyum. “Melindungi gitar kamu? Aku?”
“Hanya kakak yang  bisa melindungi diri sendiri dengan mengatasi semua rasa takut, benci dan marah, yang ada pada diri kakak, bukan aku. Tapi aku berjanji aku akan selalu ada di pihak kakak, aku akan bela kakak walaupun harus naik ke hotel Yamato diantara desingan peluru AK 47-nya kompeni.”
“Bukannya AK 47 itu dibuat tahun 1947?” tanya Nara serius.
“Iya gitu, berarti senjata yang lain lah, tapi aku gak tahu jenis nya apa, belum lahir juga soalnya.”
Nara tertawa, dan menatap gadis yang selalu membuat perasaannya hangat itu.
Lalu pandangan Nara beralih pada gitar yang cat nya terlihat masih mengkilap itu,  senar-senar baja nya terlihat berkilauan laksana cahaya bintang yang ia tatap beberapa malam lalu bersama Rein.
Rein benar, hanya dirinya lah yang bisa mengatasi semua rasa takutnya. Nara menatap wajah Rein yang kini tengah tersenyum padanya, senyum yang selalu membuatnya merasa tentram.  Nara sadar, kini ia memiliki seorang teman berbagi. Ia mulai memainkan jemarinya, lalu terdengarlah intro yang sangat Rein kenal, Cuscutlan milik Frente!.  Dan tanpa di minta Rein pun langsung mengeluarkan suaranya.  Mereka pun larut bersama Fente!.
“Aktivis grunge bawain Frente!?” tanya Rein tertawa setelah mereka usai berdendang bersama.
“Memangnya gak boleh? aku suka Frente! mereka unik.”
“Kok bisa samaan ya, aku juga suka banget sama Frente!” Rein tersenyum gembira.  “Permainan gitar kakak bagus, untuk seseorang yang telah lama tidak memainkan alat musik itu. Sayang sekali bila kakak harus mengubur itu semua tanpa orang lain tahu. Setidaknya sekarang ada satu orang yang telah kakak hibur hatinya.”
“Kadang pengalaman pahit itu dapat membinasakan apa saja. Kamu tahu kan bagaimana perasaanku saat itu? Hancur berkeping-keping, tapi aku lebih suka memendam itu semua dalam hatiku. Aku ingin hanya aku yang tahu kesedihanku ini. Aku gak mau membuat orang lain terbebani dengan masalahku.” Nara menumpukan dagunya di atas gitar yang masih ada di pangkuannya itu.
“Aku dulu berpikiran sama dengan kakak, tapi Jed telah mengajari ku tentang indahnya berbagi.”
Rein tersenyum, tapi matanya terlihat sedikit berkabut.

60
Rein sedang berada di belakang gedung kuliahnya, memandangi ilalang yang bergoyang goyang di tiup angin sore. Sementara itu telinganya masih mendengarkan suara frontman Candle Box yang tengah menyanyikan lagu andalan mereka,  Far behind dari earphone walkmannya. Disampingnya ada Dandy yang tengah duduk bersandar di tembok yang catnya sedikit terkelupas di makan cuaca. Kampus mereka memang belum sepenuhnya maksimal di bangun dan di tata, masih ada tanah tanah kosong yang di biarkan di tumbuhi ilalang, tak terawat.
“Mau? Biar gak sedih lagi Hahaha.” tiba tiba Dandy mengulurkan sebuah lintingan kecil yang menyerupai sebatang rokok kepadanya.
“Kamu mau ajak-ajak aku buat pakai itu dengan alasan setia kawan?” tanya Rein sewot, ia melepas earphonenya.
“Becanda, gak lah.” Dandy tertawa lagi dengan nyaringnya.
“Sejak kapan kamu pakai itu lagi?”  baru kali ini Rein berani bertanya kepada Dandy, padahal ia sebelumnya ia sudah tahu dari cerita Jangkrik dan Beni.
“Sejak ditendang dari band kesayangan.” Dandy menjawab sekenanya sambil masih tertawa-tawa.
“Buat apa sih.”
“Buat bersenang-senang aja lah, hepi hepi sama buat menajamkan kreatifitas.”
“Kamu gak takut orang tua kamu tahu?”
“Orang tua? Memangnya aku punya orang tua?” Dandy tergelak.
“Haduh, memang ngaruh ya pakai itu?” tanya Rein mulai kesal.
“Ngaruh lah, kamu tuh banyak nanya kayak wartawan.” Dandy berbisik di telinga Rein.
“Ya sudah aku mau pulang.” Rein mendengus kesal. “Lain kali kalau mau nyimeng gini kasih tahu aku jadi aku gak bakalan samperin kamu.”
“Haasy sana sana pergi.” Dandy kembali tertawa-tawa.
Nyimeng adalah hal lumrah yang banyak di lakukan oleh beberapa teman teman ngeband barunya Dandy. Ya, selinting daun ganja kering yang terkadang di bungkus dengan kertas papir, dan di percaya bisa menumbuhkan rasa  percaya diri dan inspirasi.
Efek yang di hasilkan dari daun ganja persilangan antara Canabis Sativa dengan Canabis Indica ini berbeda beda pada setiap orangnya. Tapi yang paling banyak adalah memberikan efek euforia suka suka kepada pemakainya, gembira sepanjang waktu, tertawa tawa seperti yang terjadi kepada Dandy.
Setelah kemarin Rein memergoki Dandy sedang melayang tak keruan di belakang gedung kuliahnya, kini Rein kembali berada di tempat yang sama untuk menemui Dandy.  Tapi kali ini Dandy tidak terlihat seperti biasanya, tak ada tawa semingrah dan ocehan panjang pendek keluar dari mulutnya.  Dandy terlihat lemas sekali, mata nya kadang terpejam kadang terbeliak, kadang ada senyum dan tawa aneh keluar dari mulutnya.  Rein merasa ada yang janggal dengan sahabatnya itu. Beberapa bungkus  makanan berserakan di sampingnya.  Dua botol kosong minuman soda pun tergeletak malas di sisi pemuda berkulit putih itu.  Rein menguncang-guncang tubuh Dandy yang tersandar lemas di tembok, menepuk-nepuk pipinya, ia merasa ketakutan,  panik melandanya.
Orang pertama yang di ingatnya adalah Nara.  Rein berlari tergopoh menuju telpon umum  yang berada di dalam kantin jurusannya, memasukan koin yang tinggal satu satunya untuk mempager Nara.
Nara baru saja membereskan mejanya, memasukan bindernya ke dalam backpack Alpina hitamnya ketika pagernya berbunyi.
Kak di belakang gedungku  penting rein.
Nara membaca pesan di pagernya lalu mengerutkan dahinya, tanpa berpikir panjang ia bergegas menuju ke arah gedung kuliah Rein. Setibanya di sana apa yang di dapatinya, wajah pucat Rein yang terlihat panik. Di samping Rein ada Dandy yang tergeletak lemas.
“Kenapa dia?” tanya Nara terkejut.
“Gak tahu, dia sudah begitu waktu aku samperin kesini.”
Nara membuka kelopak mata Dandy lalu melirik sebuah lintingan kecil di tangan kanannya yang telah habis terbakar setengahnya.
“Nih sebabnya, kayaknya kebanyakan.” Nara memperlihatkan lintingan kecil itu kepada Rein..
“Terus gimana kak, kita kan gak bisa ninggalin dia di sini, ini sudah sore..” Rein terlihat khawatir sementara angin sore semakin kencang menyapu tubuh mereka.
“Cari Jimmy, tadi kayaknya dia masih ada di bengkel, kita bawa Dandy pulang”
“Ke kosan aku? Ih gak mau ah.”
“Ya kosan aku dong.” kata Nara tenang sambil tersenyum simpul.
“Buruan sana, kasihan nih temen kamu ini, teler tingkat tinggi bentar lagi pasti tidur gak bangun bangun.”
“Gak bangun bangun?” Rein tambah panik.
“Bangun tapi nanti beberapa jam lagi.” terang Nara.
Rein lalu beranjak, setengah berlari dan berjalan cepat untuk mencari Jimmy.
Setiba di bengkel Sipil,  Rein celingukan mencari Jimmy.
“Cari siapa Rein?” tanya Erik tiba tiba.
“Jimmy, ada?”
“Jimmyyyyy.” Erik berteriak senyaring nyaring nya, mungkin ingin bersaing dengan pak Pranajaya, yang membuat semua orang melihat ke arah mereka.
“Ada apa Rein?” Jimmy berlari kecil menghampiri Rein, dengan baju bengkel overall khaki nya yang terlihat kebesaran di tubuh kurusnya.
“Aku butuh bantuan, kamu sudah selesai bengkelan?”
“Baru mau pulang sih.”
Lalu Rein pun langsung menerangkan keadaan Dandy.  Mereka pun bergegas pergi diantara pandangan aneh teman teman Jimmy.
Tak berapa lama Rein dan Jimmy pun telah berada di tempat dimana Dandy masih terkulai lemas dengan Nara yang duduk tenang di sampingnya.
“Kenapa dia kak?” tanya Jimmy penasaran.
“Biasa.” Nara menyeringai.
“Deuh teler gini si Dandy, mau manggung dimana dia? Pakai kayak ginian kok di kampus ada ada aja.”
“Ya mungkin dia anggap aman disini.” sahut Nara tenang.
“Bawa kemana?” tanya Jimmy sambil menepuk nepuk pipi Dandy.
“Kosan.” jawab Nara cepat.
“Kosan Rein?” tanya Jimmy serius.
“Enak aja.” sahut Rein sewot.
“Dia kan sobat kamu.” sahut Jimmy
“Tapi kan dia cowok.” sembur Rein.
“Kamu kan setengah cowo.k” Jimmy tak mau kalah sewot.
“Eh, hayuk Jim, sudah mau magrib nih.” sahut Nara menengahi Jimmy dan Rein.

Rein memperhatikan Dandy yang kini terbaring di ranjang Nara. Ia tertidur pulas bagaikan bayi yang baru saja tiba di dunia nan fana.
“Lantas kita apain dia?” tanya Rein penasaran.
“Ya diemin aja sampai bangun, efeknya hilang kok kalau dia sudah bangun.” kata Nara ringan.  Rein mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.  Lalu ia berpamitan kepada Nara untuk pulang ke tempat kos nya.

Rein memasuki kantin mas Nano yang terlihat ramai malam itu, matanya mencari cari seseorang yang ia harapkan berada di sana.  Senyum pun mengembang di bibirnya ketika seseorang melambaikan tangan kepadanya.  Ia pun menghampiri meja yang terletak di sudut kantin itu.
“Dandy gimana kak?” tanya Rein penasaran kepada Nara yang sedang menghirup air tehnya dengan penuh penghayatan.
“Sudah baikan, waktu bangun dia kaget. Dia panggil aku dengan nama Jed sambil ketakutan.”
Tiba tiba sorot mata Rein meredup ketika Nara menyebutkan nama adiknya itu.  Nara tersentak lalu meneruskan kalimatnya dengan cepat.
“Terus dia panik gak keruan, aku tampar aja biar dia diam dan mau mendengarkan penjelasanku.” lanjut Nara.
“Sejak kapan kamu tahu Dandy suka pakai?” tanya Nara penasaran.
“Dulu awalnya tahu dari Beni sama Jangkrik temen bandnya. Dandy saat itu sedang banyak masalah, terutama masalah keluarga.”
“Ya kadang ganja memang bisa menjadi pelarian yang mengasyikkan. Efeknya bikin kamu merasa santai, selalu bahagia, menganggap enteng masalah, kepedean yang gak pada tempatnya, ketawa terus kayak lihat film komedi, apalagi kalau pakainya ramai ramai.  Kalau pakainya sendirian, efek yang ditimbulkan malah gak enak yaitu kamu bakal merasa kesepian sampai perut kamu mual kadang  muntah segala, curigaan, dan masih banyak lagi.  Tapi efek di masing-masing orang itu bisa berbeda sih, tergantung daya tahan tubuhnya juga.”
“Kok kakak tahu?”
“Aku pernah pakai dan itu yang membuat papi makin marah sama aku.”
“Siapa yang ngenalin kakak ke hal itu?”
“Seorang teman yang sampai sekarang tidak pernah mau bertemu dengan ku lagi.” tatapan mata Nara menerawang jauh. Ada nada kesedihan  dalam suaranya.
“Kenapa?”
Nara kini menatap Rein lembut. “Gak usah di bahas ya, gak apa-apa kan?”
Rein menatap balik mata coklat itu yang kini terlihat suram.
“Terus kapan papi tahu?”
“Gak lama. Suatu saat aku gak pulang ke rumah selama dua hari, nginep di rumah seorang teman yang orang tuanya sedang pergi. Aku ke gap sama papi waktu dia jemput paksa aku dari rumah temanku itu. Dan hari itu sabetan ikat pinggang papi lah yang telah menggenapi rasa gak karuan yang aku rasakan dalam tubuhku”
“Terus?”
“Papi ngusir aku.”
“Hah?”
“Hush gak usah melotot gitu.” Nara tertawa.
“Aku gak boleh menginjakkan kaki ku di rumah sebelum aku benar-benar bersih. Aku merasa di buang oleh papi. Sambil menangis mami bawa aku ke rumah Om Babad, Jed gak berhenti menangis juga.”
“Om Babad dan Tante Seruni adalah dua orang yang sangat mengerti aku. Mereka tidak pernah menghakimi aku,  mereka merengkuhku ke dalam pelukan hangat mereka, aku merasa aman disana.”
“Lalu, kakak di rehabilitasi? masuk pesantren?”
“Karena aku belum terlalu parah, aku bisa meninggalkan hal itu dengan kesadaranku sendiri, tanpa obat obatan penawar dari dokter.  Dan jangan pernah meremehkan kekuatan cinta Rein, dengan cinta semua hal yang gak mungkin bisa menjadi mungkin.”
“Maksudnya?”
“Aku merasa di cintai oleh Om dan Tante ku,  mereka selalu menanyakan kabarku setiap hari dan mau mendengarkan ceritaku.  Mereka selalu mendorongku, membiarkan aku mengerjakan apa yang aku suka asalkan positif.  Bahkan aku merasa mereka lah orangtua ku sebenarnya.”
“Akhirnya aku kembali ke jalan yang benar, happy ending kan?” Nara tergelak.
“Ternyata kakak mempunyai cerita yang lebih meriah dari ceritaku, dan aku salut kakak bisa melewatinya dengan baik, bahkan menceritakannya kembali dengan penuh tawa.”
“Karena hanya kita yang bisa menentukan bagaimana cara mengenang peristiwa yang telah terjadi di dalam hidup kita.  Apakah menjadi manis penuh tawa atau pahit berlinang air mata.” Nara menatap mata Rein lekat lekat.
Siang itu Rein tengah duduk sendiri dan memandangi dua lelaki muda yang duduk agak jauh dari mejanya, mereka terlihat sedang terlibat obrolan seru, sesekali di selingi oleh tawa yang renyah.  Dandy terlihat segar, raut wajahnya yang biasanya kusut kini terlihat cerah.  Rein menghirup es kelapa mudanya pelan, baru saja Senny meninggalkannya untuk pulang bersama Yan.
“Daaar.”
Rein terperanggah.
Jimmy merangkul bahu Rein. “Sendiri?”
“Aha tadi sama Senny, tapi barusan dia pulang.”
“Eh itu si kakak sama Dandy, samperin yuk?” ajak Jimmy.
“Gak ah Jim, aku di sini aja. Eh tahu gak ternyata kak Nara sama Dandy tuh nyambung banget.”
“Maksudnya?”
“Kak Nara itu dulu suka lihat event event underground-an, yang di adain di Saparua itu loh Jim.”
“Hullabaloo sama Bandung Berisik?” tanya Jimmy, dahinya berkerut.
“Yap.”
“Oh gitu, gak nyangka ya si kakak suka underground an keliatannya dia kalem banget.”
“Don’t judge a book by its cover.” kata Jimmy dan Rein bebarengan sambil tertawa.
“Gimana si Dandy?” tanya Jimmy sambil meneguk es kelapa muda milik Rein.
“Kak Nara lagi gerilya deketin Dandy, mau menebarkan benih-benih cinta katanya.”
“Kamu gak cemburu?”  Jimmy memasang tampang serius.
“Ih apaan sih, memangnya Dandy cewek.”
“Oh kalau Dandy cewek kamu bakal cemburu, gitu?”
“Ye, ngarang.”
“Kak Nara itu suka sama kamu …. aduh kelepasan deh.” Jimmy menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ngarang kuadrat.” seru Rein nyinyir.  Jimmy tersenyum-senyum menggoda Rein.
Rein terdiam, ia memandang wajah Nara yang tengah tertawa bersama Dandy.  Rein kini telah melihat wajah itu sebagai wajah Naraya yang sesungguhnya.

***
Pagi itu kabut masih menyelimuti sebagian besar areal kampus ketika Rein menginjakkan kakinya di gerbang belakang. Hawa dingin menusuk-nusuk tubuhnya tanpa ampun karena sweater Grifone birunya tidak mampu memberinya kehangatan lebih.  Dari kejauhan ia melihat Jimmy tengah berjalan sendirian.  Rein berlarian mengejarnya.  Ia sedikit heran mengapa Jimmy hari itu berjalan kaki lewat gerbang belakang dimana gerbang yang mempunyai portal yang gak jelas itu merupakan gerbang khusus untuk para penaik angkot dan pejalan kaki.
“Tumben gak bawa mobil, kenapa?” tanya Rein kepada Jimmy dengan nafas yang terengah engah.
“Di jokul.” sahut Jimmy pendek.
“Wah bakal dapet ganti baru nih, Ferari, Porsche, haaa haaa?” tanya Rein sambil menaik naikan alisnya.
“Mercy Tata.” sembur Jimmy.
“Mau saingan sama bis kota?”
“Iya biar kamu betah kalau nebeng.”
Rein mencibir. “Jadi kamu gak kuliah dua hari kemaren karena gak ada mobil?”
“Yaiyalah, eh tahu dari mana aku gak kuliah?”
“Indra, siapa lagi biang gosipnya.”
“Capek gak ada kendaraan, rumah ku kan jauh.” keluh Jimmy.
“Hmm manja.” Rein menaikan bibir sebelah kirinya.
“Siapa yang manja, cuma gak enak aja naik umum, turun naik, kayak berat badan kamu.”
“Widiih cadas ngomongnya. Ah cuma belum terbiasa aja kali, lagian paling besok sudah pakai lagi.”
“Gak mungkin.” Jimmy mengajak Rein duduk di undakan depan kantor pos.
“Kenapa gak mungkin?”
“Papa nyaris bangkrut.”
“Loh kok bisa.”
“Kena tipu kolega.” Jimmy mengacak acak rambut ikalnya.
“Terus.”
“Ya terus sekian deh, tanpa mobil aku gak bisa pergi kemana-mana, aku gak bisa ngapa-ngapain, aduh stress banget nih. Ini sih lebih stress di bandingin harus ngerevisi TA.” kata Jimmy kembali mengacak acak rambut nya yang kini terlihat semakin ikal itu.
“Hmm, berlebihan.” protes Rein.
“Kamu gak ngerasain sih.” Jimmy merajuk.
“Makan pisang aja atuh.” Rein mengeluarkan satu buah pisang ambon lumut yang ia bawa dari rumah.
“Buat apa?”
“Obat stress, nih.” Rein membuka kulitnya dan menyodorkannya kepada Jimmy.
“Kata siapa?” Jimmy menjauhkan tangan Rein yang kini tepat di depan wajahnya.
“Kata si Yan.”
“Kenapa bisa?”
“Pisang itu mengandung vitamin A, B, C serta berbagai mineral seperti zat besi, kalsium, potasium dan magnesium yang bekerja membantu meredakan stres dan gelisah, gitu kata si Yan”
“Gak suka pisang.” sahut Jimmy ketus, ia lalu merebut pisang dari tangan Rein dan menjejalkannya ke mulut Rein dengan paksa.
“Jeruk?” suara Rein terdengar bergelombang karena mulutnya penuh dengan pisang.
“Gak suka buah-buahan, memangnya kamu si maniak buah-buahan.”
“Berarti bayam aja deh.” Rein beranjak dan melemparkan kulit pisangnya ke tong sampah di dekatnya.
“Bayam yang di makan Popeye?”
“Yaiyalah,  terbukti kan si Popeye gak pernah stress kalo ngadepin Brutus..”
“Iya, si Popeye kan masalahnya cuma sama si Brutus, sedangkan aku masalahnya kompleks”
“Kompleks perumahan?”
“Perkantoran.” seru Jimmy muntab.  Rein tertawa melihat wajah lucu Jimmy.
“Jangan lama lama stressnya.” bisik Rein.
“Kenapa?!”
“Bikin gatel gatel.”
“Kaligata?”
“Eksim.”
“Kok tahu, kata Yan juga?”
“Kata dokter kulit.”
“Kamu terjangkit virus stress juga ya, ngomongnya gak karuan?” tanya Jimmy sewot.
Rein menatap Jimmy tak percaya.
“Eh, pertanyaan retoris ya?” Jimmy tergelak.
Rein menaikkan bahunya.
“Sedih, aku kayak kehilangan sebagian dari diriku.” keluh Jimmy.
“Makanya jangan terlalu bergantung kepada sesuatu.”
“Aku gak bergantung, hangernya aja gak ada, nih lihat.” Jimmy meraih kerah bagian belakang kemeja hawaii nya yang di dominsai warna kuning itu.
“Aku gak ngerti sama papa bisa bisanya kena tipu.” lanjut Jimmy sendu.
“Roda kehidupan itu selalu berputar Jim, kadang ada di atas kadang ada di bawah. Mungkin kali ini, roda kehidupan keluarga kamu sedang ada di bawah,  tapi suatu saat pasti akan naik lagi. Jangan berputus asa ya, pasti bakal ada keceriaan yang bakal kamu dapetin nantinya kalo kamu bisa kuat menjalani semuanya, selalu bersabar dan berdoa, be tough ya.”
“Itu kata Yan juga?” tanya Jimmy serius.
Rein menggeleng. “Kata Ibu ku.” jawab Rein pelan.
Jimmy melirik Rein dengan sudut matanya.
“Nah, daripada kamu bermuram durja terus.” kata Rein bersemangat.
“Siapa yang bermuram durja, aku cuma stress.” protes Jimmy.
“Oh iya, daripada kamu stress terus, mendingan pulang kuliah nanti jalan jalan yuk, cari angina.”
“Kemana?” Jimmy mengeluarkan baju bengkel dari tasnya.
“Menikmati Bandung di sore hari.”
“Kemana?” ulang Jimmy tak sabar.
“Mau ikut gak.”
“Kemana dulu?”
“Tempat nongkrong aku sama Yan.”
“Si Yan lagi?”
“Iya.” kata Rein sambil beranjak dan berjalan meninggalkan Jimmy yang masih terlihat bengong.
“Tunggu di Kape ya.” teriak Jimmy.
Rein mengacungkan dua jempolnya ke udara, tanda setuju.

Siang itu Rein telah duduk manis bersama Jimmy dan Nara di angkot yang tengah membawa mereka ke luar dari lokasi kampus, ketika ia bertemu Mayang dan pacarnya yang kerap di sebut si Abang.
“Mau kemana Rein?” tanya Mayang sambil melirik Jimmy dan Nara yang duduk di sebelahnya. 
“Ngukur jalan, kamu sendiri mau kemana?”
“Ada aja.” kata Mayang berahasia.
“Mau kemana Bang?” Rein mengalihkan pertanyaannya kepada pacar Mayang.
“Gak tahu nih Mayang.” si Abang tersenyum penuh arti kepada Rein.
“Mau ke Bonbin ya?” tebak Rein sambil tersenyum lebar.
“Sok tahu.” sembur Mayang.
“Mau ngebuktiin mitos ya.”
“Mitos apaan?” tanya si Abang spontan.
“Mitos kalau pacaran di Bonbin, hubungan kalian bakal awet kayak Mumm nya Firaun yang lagi nyanyiin lagunya White Lion, Till death do us part.”
Mayang merengut.
“Iya Yang?” tanya abang menggoda Mayang.
Mayang membuang muka nya dengan segera sambil menyibakkan rambut model bob nya yang masih saja terlihat menawan.
Nara menginjak kaki Rein sambil mengulum senyum.

***
Trotoar jalan Asia Afrika yang lapang ternyata membuat hati Jimmy terasa lapang juga. Ia terlihat berjalan zig zag dengan gaya yang sempoyongan, merentangkan tangannya bagai layar kapal Vinisi yang tengah melaut di Samudra Hindia.  Rein mengikuti Jimmy dari belakang sementara di belakang Rein ada Nara yang berjalan dengan tenang, mereka berjalan ala suku Baduy dalam.
Rein melangkah pelan diantara hembusan angin siang menjelang sore itu.  Nara menatap gadis yang tengah berjalan di depannya. Nara ada di sana karena ajakan Jimmy.  Ia bertemu Jimmy di Kantin ketika istirahat tadi. Ia yang tadinya berniat akan pergi ke tempat kos Andre mendadak membatalkan acaranya karena omongan Jimmy yang menyebutkan akan pergi bersama Rein. 
Nara menjajari langkah Rein, Rein terlihat terkejut ketika Nara tiba tiba telah berjalan di sampingnya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Nara.
“Dulu, kalau sekarang sekarang enggak, terakhir kesini sama  Yan.”
Jimmy kini menyebrangi jalan raya lalu menyebrang lagi, memutari tiang tiang bendera di depan Gedung Merdeka.
“Aku mau ke Kantor Pos, di pertigaan sana, tadi Kantor Pos kampus sudah tutup.” kata Rein menunjuk kea rah sebuah gedung yang belum terlihat.
“Sekali jalan dua tiga pulau terlewati?” tanya Nara.
“Sekali kayuh kak.” protes Rein.
“Kita kan jalan kaki.” Nara menjejakkan kaki kanannya yang berbalut sneakers abu abu dengan keras ke trotoar.
“Lha berarti bukan pulau juga dong, sekali jalan dua tiga tempat terlewati, nah itu yang benar.”
Nara tertawa.
Sampai di tempat tujuan, Jimmy langsung duduk bersila di depan para pedagang majalah bekas yang terletak  di samping gedung PLN itu.  Tempat itu kerap di sebut dengan bursa majalah bekas Cikapundung karena letaknya yang berdekatan dengan aliran sungai Cikapundung.   Rein dan Yan kerap berlama lama di sana, mencari majalah majalah musik luar negeri, majalah tentang otomotif dan National Geografic.
“Tadi yang kita lewati disana itu, gedung apa? Museum ya?” tanya Nara.
“Aha, namanya Gedung Merdeka, tempat berlangsungnya konferensi Asia Afrika tahun 1955 dulu.” terang Rein.
“Isinya apa?” tanya Nara penasaran.
“Banyak, ada diorama para delegasi KAA, foto foto,  tiang tiang bendera sampe mesin ketik jadul, kapan kapan kita masuk ke sana deh, biar kakak tahu.” 
Nara mengangguk. “Kalo ini gedung apa?” tunjuk Nara ke gedung di samping mereka.
“Ini gedung PLN, bikinan Belanda jaman nya Daendels.”
“Si kerja Rodi?”
“Iya.”
“Oh, gedung lama ya?”
“Yap, di dalemnya ada sumur tua yang katanya berpenghun.i”
“Oh ya?”
“Iya, namanya Sumur Bandung. Sampai sekarang air nya masih jernih banget,  kabarnya mata air itu muncul akibat ketukan dari tongkatnya seorang Raden  bernama RA Wiranatakusumah II.”
“Kok tahu?”
“Pasti kata si Yan.” sahut Jimmy sambil menghampiri mereka.
“Seratus buat kamu Jim.” sahut Rein dengan senyum terkembang.
Matahari telah sedikit meredup, ketika mereka memutuskan untuk beranjak dari sana.  Setelah menyambangi kantor pos besar,  kini mereka berada di dalam kawasan Alun Alun Bandung.  Menikmati suasana sore hari yang ramai dengan lalu lalang orang dan para pedagang asongan.
“Terakhir aku ke sini, air mancur nya masih berfungsi, gak kayak sekarang.” Rein menunjuk kolam air mancur yang kini kering kerontang.
“Kapan?”
“Kayaknya pas aku umur 5 tahun nan deh.”
“Jadul banget.”
“Eeh dulu, di sini itu adalah salah satu tempat rekreasi warga yang lumayan top setelah Kebun Binatang dan Taman Lalu Lintas.”
“Oh gitu ya, masjid nya sudah ada?” tanya Nara lagi.
“Ya sudah lah”
“Kakak wisatawan dari mana?”  Jimmy mendorong bahu Nara sambil tertawa.
“Dari luar pulau.” jawab Nara asal.
“Oh pantesan, norak banget.”
“Kamu pasti sudah pernah ke sini juga kan Jim, kamu kan orang Bandung.”
Jimmy menggeleng.
“Lah kamu lebih norak, orang Bandung kok gak pernah masuk sini.”
“Ini sudah, sekarang.”
“Iya karena diajak Rein.” kata Nara sambil terbahak.
Jimmy menyeringai.
Tak terasa malam telah tiba, kini tiga serangkai itu sedang menikmati segelas susu murni mereka masing masing di sebuah lapak penjual susu murni di sekitaran Kebun Kelapa. Rein menghirup susu berperisa coklatnya dengan penuh penghayatan. Sedangkan Nara mengamati susu murni plainnya, dan menghirupnya pelan.
“Susu ini kalau ditambah gula lalu di blender bareng beberapa potong pisang, terus hasilnya dimasukin ke gelas piala, lantas diberi topping whipped cream, kayaknya bakal cocok buat kamu Jim, banana milkshake. Minuman buat yang sedang stress.”  terang Nara sambil mengacungkan gelasnya ke depan wajah Jimmy.
Rein dan Jimmy terperanggah, mata mereka tidak berkedip memandang wajah Nara.
“Kenapa? Kalian kayak habis kesamber petir aja.”
“Itu kata Yan juga?” tanya Jimmy.
“Siapa Yan?” tanya balik Nara.
“Teman si Rein, yang hari ini banyak banget di sebutin namanya.”
“Gak kenal sama Yan, kalo Yan Asmi D’bodor aku tahu.”  sahut Nara datar, di sambut tawa Rein dan Jimmy.
“Kakak kok kebayang sih bikin minuman kayak gitu, kalau aku sih boro boro, susu coklat gini aja sudah terasa enak banget, gak kebayang di modif modif kayak gitu.”
“Aku sedang tertarik dengan olahan minuman. Tapi kalau jus alpukat versi kamu yang di campur Fanta grape itu, rasa yang dihasilkannya pasti rasa kurang ajar ya. Jus alpukat itu enaknya di campur sama kopi plus krim.” terang Nara pasti.
“Wah, kakak belum nyobain minuman aku itu sih, kalau sudah pasti bakal muntah.” Rein tertawa.
Setelah menghabiskan isi gelas mereka masing masing, kini Rein, Nara dan Jimmy berdiri mematung di depan lapak susu murni itu untuk menanti angkot yang akan di tumpangi oleh Rein.
“Hei Rein, makasih ya, kamu ngajak aku jalan jalan beneran, pakai kaki, capek sih, tapi rame juga ya.” kata Jimmy sambil merangkul bahu Rein dengan gaya selebornya.
“Hem, katanya capek gak pakai mobil.” goda Rein.
“Memang capek banget, kaki aku yang biasanya cuma nginjek tiga pedal di bawah, sekarang dibawa nginjek macem macem. Tapi beneran asik banget kok, jadi kita kemana lagi besok?”
“Ke Cihapit, ajak Dandy, dia masternya daerah Cihapit.”
“Ada apa di sana?” tanya Jimmy, ia terlihat sangat tertarik.
“Kaset bekas.” sahut Rein.
“Kamu kok sukanya yang bekas-bekas sih, jiwa loakan.”
“Benda bekas itu biasanya punya sejarahnya sendiri, asik aja disamping murah.”
“Murah, Meriah, Muntah?” tanya Nara kalem.
“Itu motto daerah kakak ya?” Rein menyeringai.
“Apaan, 3M tadi?” Nara memandangi wajah gadis yang berdiri di sampingnya.
“Iya.” Rein mengangguk.
“Kenapa?” tanya Nara
“Umam punya motto yang sama, kalian kan satu kampung halaman.” terang Rein.
Nara tergelak lalu berlama-lama menatap wajah gadis yang ada di sampingnya itu. Ia bertanya kepada dirinya sendiri, akankah ia mempunyai keberanian untuk mengutarakan semua perasaan yang telah lama bersemayam dalam hatinya kepada gadis yang selalu membuatnya tersenyum itu?.

***
Gedung Sasana Budaya Ganesha di penuhi oleh kelebat warna biru.  Topi toga menyembul dari kursi kursi yang berjajar rapi.  Wewangian parfum, semerbak memenuhi ruangan.  Para wisudawan telah duduk rapi di tempatnya masing masing, termasuk Rein.
Beberapa puluh menit yang lalu, Rein melihat tali topi toga Nara dipindahkan dari ke kiri ke kanan.  Kata Pak Batara, dosen yang merangkap sebagai ketua Jurusannya, pemindahan tali toga itu mempunyai filosofi bahwa ada sebuah pengharapan kepada para mahasiswa yang telah lulus untuk mulai menggunakan otak kanannya agar lebih berfikir kreatif dan inovatif, setelah sebelumnya mereka banyak menggunakan otak kirinya ketika berada di bangku kuliah.  Dan kini Rein melihat barisan teman teman Jed yang mulai dipindahkan tali topi toganya satu persatu, Aris, Astri, Erik, Iwan,  Indra, Jimmy, Maya, Ratri, Shia dan Tantri.
Setelah 3 tahun melalui banyak peristiwa, bagai bayi yang baru saja mencium aroma dunia, Rein merasa dilahirkan kembali. Semua beban beratnya telah ia urai satu persatu.  Terlalu banyak kenangan yang tak ingin ia tinggalkan.  Ia sadar apa yang di alaminya selama beberapa tahun kebelakang ini memberikan sebuah pelajaran hidup yang berharga baginya.  Keceriaan dan kemuraman datang silih berganti menyapa nya.  Ia sadar, ia tak akan sekuat ini menghadapi semuanya tanpa teman temannya.  Teman teman yang telah mengisi hari harinya dalam suka maupun duka.
Tidak hanya persoalan dirinya yang telah terurai, persoalan teman temannya pun kini telah terurai dengan sendirinya.
Dandy kini tengah menjalani terapi tusuk jarum untuk ketergantungannya akan daun kering penebar pesona itu dengan dukungan Nara. Hubungannya dengan Nara semakin dekat, mereka bagaikan amplop dan perangkonya. Nara seakan menenemukan adik laki laki baru.  Punkhas Rambut rencananya akan membuat mini album secara indie setelah Dandy bergabung kembali dengan Beni, Jangkrik dan Rendra.  Jimmy belum lama ini kembali berkendara walaupun ia lebih sering menyimpan kendaraannya di rumah, selain tetap mengkoleksi baju hawaii kini hobinya bertambah satu yaitu pergi ke tempat tempat barang bekas bersama Dandy.  Karena tidak ingin di sebut lagi penjaga pos ronda, putus dengan Winda, jadian dengan Syasya,  Shia telah kembali berkarir dengan memacari beberapa adik angkatannya itu. Indra sudah tidak terlalu telat dalam berpikir setelah rajin minum Ginko Biloba dan banyak mengisi teka teki silang.  Umam masih setia memainkan game Championship Manager dan Wining Eleven nya dengan perangkat komputer yang telah di upgrade menjadi intel pentium 2 MMX.  Jerawat Redi sudah lama tidak muncul lagi karena akhirnya ia pergi berkonsultasi ke dokter kulit dan kelamin yang kadang membuatnya tengsin karena ada kata kelamin di akhir kata kulitnya.  Senny dan Erik berteman baik kembali walau tidak berlandaskan undang undang cinta. Mayang telah berhenti mengkoleksi jam tangan, ia kini rajin  mengumpulkan berbagai macam aksesoris dari bahan perak bakar. Lea dan Aksan mengikuti jejak Tantri dan Aldo, menikah sesaat setelah sidang TA usai. Yang Rein tidak pernah sangka adalah Mahendra dan Ratri yang akhirnya memenuhi takdir mereka menjadi sepasang kekasih. Setelah beberapa kali pindah tempat kerja, kini Jojo memantapkan dirinya bekerja di sebuah perusahan kontruksi di Surabaya.  Dan Yan telah membuka hatinya kembali untuk sebuah mobil bercat hitam ala KIT, mobil pintarnya David Hasselhoff, setelah VW Kodok hijaunya mengalami kerusakan mesin yang lumayan ekstrim.

Nara berdiri mematung menatap gadis yang tengah tersenyum padanya.  Matanya seakan enggan berkedip.  Rein terlihat sangat menawan, dibalut kebaya warna biru nya yang sesuai dengan warna toga yang masih ia kenakan.
“Kak, hallo.” Sapa Rein sambil melambai lambaikan tangan nya di depan wajah Nara.
Nara terbangun dari lamunannya dan tersenyum kepada Rein.
“Duduk sana yuk.” ajak Nara, Rein mengikutinya dari belakang.
“Rein, hari ini mungkin hari terakhir kita bertemu.” ujar Nara.
Rein mengangguk anggukan kepalanya.  Rencananya Nara akan melanjutkan kuliahnya di salah satu perguruan tinggi Negeri di Surabaya.
“Aku telah menyimpan perasaan ini selama satu tahun, waktu yang cukup lama untuk meyakinkan diriku sendiri sehingga aku berani mengatakannya kepada kamu.”
Rein menatap Nara tak percaya.
“Aku selalu ada di samping kamu karena aku ingin. Aku menyukai kamu tapi aku terlalu takut untuk mengungkapkannya.”
Rein membisu, lidahnya kelu, mendadak ia teringat kembali kalimat yang pernah Jimmy katakan kepadanya dulu.
“Aku senang bisa menjadi salah satu teman kamu. Mungkin kita akan bertemu kembali, tapi entah kapan, yang pasti kamu akan selalu ada dalam hati dan pikiranku karena aku sangat menyayangi kamu.”
“Mungkin kamu tidak memiliki perasaan sama denganku, tapi setidaknya aku sekarang sudah merasa lega bisa memberi tahu kamu tentang perasaanku. Makasih telah membuatku merasa selalu di terima.” Nara tersenyum mengelus kepala Rein lembut. 
“Kak, maafkan aku…”
“Aku tahu. Jangan pernah merasa bersalah karena aku Rein.”