Beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan seorang teman tentang keterlibatannya di dalam sebuah komunitas profauna terutama primata.
Menarik, karena dalam komunitas tersebut, teman saya ini kerap menghadiri berbagai event yang diadakan oleh komunitasnya,seperti kampanye terbuka, edukasi dari sekolah ke sekolah serta napak tilas kembali ke alam, sambil tetap berkampanye, #saveprimata, tentunya.
Nah, kalo ngomongin hewan primata, saya selalu teringat dengan seekor monyet yang mempunyai nama latin Macaca Fascicularis milik seorang tetangga beberapa puluh tahun yang silam. Macaca jantan ini di beri nama yang sangat eksotis yaitu Engkis, dari pagi sampai sore, ia di tempatkan di sebuah pohon jambu batu lengkap dengan rantai yang membelit kakinya sedangkan bila malam tiba,ia akan di bawa pulang pemiliknya untuk dikandangkan di samping rumahnya. Saya dan kakak saya kerap berlagak gila bagaikan sedang menonton pentolan band kesayangan beraksi dengan meneriakan namanya. Bayangkan jarak kami dengan tempat nangkring si Engkis ini kurang lebih 10 meteran, tapi entah karena ia sadar tenar atau karena memang ber IQ lumayan, si Engkis ini selalu memberi reaksi yang sangat ekspresif dan selalu membuat kami terbahak. Dengan lincah ia akan berlari kesana kemari, menggoyang goyangkan pohon dengan kedua tangan atau kakinya ketika kami memanggil manggil namanya. Engkis adalah hiburan gratis.
Si Engkis ini menurut saya adalah jenis monyet yang paling genit dalam kancah perprimataan.
Bila kita memanggil namanya di barengi dengan senyuman ramah, sontak ia akan menaik naikan alisnya secara terus menerus, geli di buatnya. Tapi jangan salah, monyet yang kerap di jadikan pemeran utama topeng monyet ini bisa merasa kesal juga. Ketika kami melewatinya kami kerap memberi nya pisang, niat banget pokoknya bawa bawa pisang. Tapi jangan harap si Engkis langsung bisa memakan nya, oh tidak sodarah, karena kami ini biang kerok tingkat kecamatan. Si pisang ini akan kami tarik ulur bak bermain layang layang, menggoda seekor monyet bener bener gak ada kerjaan. Karena mungkin kegilaan kami mulai tidak bisa di tolerir oleh akal sehat seekor macaca, akhirnya ia pun protes dengan cara selalu membelakangi kami dan tidak mau menerima makanan apapun yang kami sodorkan padanya apalagi menaik naikan alisnya. Ah berdosa hati ini rasanya.
Tak lama dari peristiwa itu, Engkis di bawa pindah majikannya dan terakhir mendengar kabarnya bahwa ia telah wafat.
Itu adalah cerita masa lalu, ketika kami sedang berada di jaman kegelapan.
Teman, bahkan seekor monyet pun memiliki perasaan tak suka bila dipermainkan. Maka bayangkanlah apa yang dirasakan oleh mereka para aktor Topeng monyet yang kerap di beri nama seragam, yaitu “Sarimin“. Bagaimana perasaan Sarimin ketika ia harus mengalami penyiksaan lahir dan batin di saat masa pelatihan berlangsung. Padahal di akhir pelatihan tidak ada pangkat yang disematkan, tidak ada medali yang di kalungkan, tidak ada bonus ketigabelas yang menanti apalagi sertifikasi, hanya ada bayangan masa depan yang suram dan pasti terpatri di dalam hati. Bekerja demi sesuap nasi majikannya. Di sia siakan dengan pemberian makan seadanya. Ia memang kerap berdandan, pergi kepasar, beraksi akrobatis bak anggota sirkus Zaragoza, bergelut dengan dunia otomotif, tapi semua itu semu belaka.
Lalu bagaimana pula perasaan seekor orang utan atau simpanse yang terkurung sendirian di balik terali besi. Sepi tanpa teman, tetangga bahkan lawan. Ia tidak akan pernah merasa sama lagi, lambat laun ia akan mati rasa dan kehilangan jati dirinya.
Lalu bagaimana perasaan primata yang di buru secara membabi buta hanya dikarenakan mengganggu habitat manusia padahal sebelumnya itu adalah habitat milik nya ?
Karena ketamakan dan ketidak pedulian manusia, lambat laun para primata ini akan musnah. Bila ketamakan dan ketidak pedulian itu terus berlangsung, maka janganlah heran bila suatu saat nanti, anak cucu kita hanya akan mengetahui bahwa di suatu masa pernah ada sebuah keluarga bernama primata di bumi ini dari sosok Monkey nya Kungfu Panda, George nya si pria bertopi kuning atau dari teman seperjalanannya Si buta dari Gua Hantu, Wanara.
Mulai hari ini, marilah kita mulai mengasah rasa empati, baik kepada sesama juga mahluk hidup lainnya.
#selamatkan_primata.
Selamat berkampanye positif kawan.
Cc : Mang Herry Ismail.

Menarik, karena dalam komunitas tersebut, teman saya ini kerap menghadiri berbagai event yang diadakan oleh komunitasnya,seperti kampanye terbuka, edukasi dari sekolah ke sekolah serta napak tilas kembali ke alam, sambil tetap berkampanye, #saveprimata, tentunya.
Nah, kalo ngomongin hewan primata, saya selalu teringat dengan seekor monyet yang mempunyai nama latin Macaca Fascicularis milik seorang tetangga beberapa puluh tahun yang silam. Macaca jantan ini di beri nama yang sangat eksotis yaitu Engkis, dari pagi sampai sore, ia di tempatkan di sebuah pohon jambu batu lengkap dengan rantai yang membelit kakinya sedangkan bila malam tiba,ia akan di bawa pulang pemiliknya untuk dikandangkan di samping rumahnya. Saya dan kakak saya kerap berlagak gila bagaikan sedang menonton pentolan band kesayangan beraksi dengan meneriakan namanya. Bayangkan jarak kami dengan tempat nangkring si Engkis ini kurang lebih 10 meteran, tapi entah karena ia sadar tenar atau karena memang ber IQ lumayan, si Engkis ini selalu memberi reaksi yang sangat ekspresif dan selalu membuat kami terbahak. Dengan lincah ia akan berlari kesana kemari, menggoyang goyangkan pohon dengan kedua tangan atau kakinya ketika kami memanggil manggil namanya. Engkis adalah hiburan gratis.
Si Engkis ini menurut saya adalah jenis monyet yang paling genit dalam kancah perprimataan.
Bila kita memanggil namanya di barengi dengan senyuman ramah, sontak ia akan menaik naikan alisnya secara terus menerus, geli di buatnya. Tapi jangan salah, monyet yang kerap di jadikan pemeran utama topeng monyet ini bisa merasa kesal juga. Ketika kami melewatinya kami kerap memberi nya pisang, niat banget pokoknya bawa bawa pisang. Tapi jangan harap si Engkis langsung bisa memakan nya, oh tidak sodarah, karena kami ini biang kerok tingkat kecamatan. Si pisang ini akan kami tarik ulur bak bermain layang layang, menggoda seekor monyet bener bener gak ada kerjaan. Karena mungkin kegilaan kami mulai tidak bisa di tolerir oleh akal sehat seekor macaca, akhirnya ia pun protes dengan cara selalu membelakangi kami dan tidak mau menerima makanan apapun yang kami sodorkan padanya apalagi menaik naikan alisnya. Ah berdosa hati ini rasanya.
Tak lama dari peristiwa itu, Engkis di bawa pindah majikannya dan terakhir mendengar kabarnya bahwa ia telah wafat.
Itu adalah cerita masa lalu, ketika kami sedang berada di jaman kegelapan.
Teman, bahkan seekor monyet pun memiliki perasaan tak suka bila dipermainkan. Maka bayangkanlah apa yang dirasakan oleh mereka para aktor Topeng monyet yang kerap di beri nama seragam, yaitu “Sarimin“. Bagaimana perasaan Sarimin ketika ia harus mengalami penyiksaan lahir dan batin di saat masa pelatihan berlangsung. Padahal di akhir pelatihan tidak ada pangkat yang disematkan, tidak ada medali yang di kalungkan, tidak ada bonus ketigabelas yang menanti apalagi sertifikasi, hanya ada bayangan masa depan yang suram dan pasti terpatri di dalam hati. Bekerja demi sesuap nasi majikannya. Di sia siakan dengan pemberian makan seadanya. Ia memang kerap berdandan, pergi kepasar, beraksi akrobatis bak anggota sirkus Zaragoza, bergelut dengan dunia otomotif, tapi semua itu semu belaka.
Lalu bagaimana pula perasaan seekor orang utan atau simpanse yang terkurung sendirian di balik terali besi. Sepi tanpa teman, tetangga bahkan lawan. Ia tidak akan pernah merasa sama lagi, lambat laun ia akan mati rasa dan kehilangan jati dirinya.
Lalu bagaimana perasaan primata yang di buru secara membabi buta hanya dikarenakan mengganggu habitat manusia padahal sebelumnya itu adalah habitat milik nya ?
Karena ketamakan dan ketidak pedulian manusia, lambat laun para primata ini akan musnah. Bila ketamakan dan ketidak pedulian itu terus berlangsung, maka janganlah heran bila suatu saat nanti, anak cucu kita hanya akan mengetahui bahwa di suatu masa pernah ada sebuah keluarga bernama primata di bumi ini dari sosok Monkey nya Kungfu Panda, George nya si pria bertopi kuning atau dari teman seperjalanannya Si buta dari Gua Hantu, Wanara.
Mulai hari ini, marilah kita mulai mengasah rasa empati, baik kepada sesama juga mahluk hidup lainnya.
#selamatkan_primata.
Selamat berkampanye positif kawan.
Cc : Mang Herry Ismail.

posted from Bloggeroid
No comments:
Post a Comment