Monday, July 2, 2018

MENDAKI CEREMAI

Setelah dua hari kemarin mengobrak-abrik kebun Abah Rakim, hari ini anak-anak ingin naik gunung. Ya, bahasanya naik gunung, padahal hanya sampai di kakinya saja bahkan kemungkinan hanya sampai di ujung jempolnya. Tapi segitu juga sudah uyuhan secara gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 m dpl.

Mengawali pendakian pada pukul 7.30 pagi, anak-anak terlihat begitu bersemangat. Saya? Terakhir naik gunung adalah gunung Papandayan itu pun naiknya pakai kendaraan, yang ngas nges ngos ya tentu saja mobilnya bukan orangnya apalagi orang-orangan sawah gak usah disebut itu mah.

Kali ini inginnya sih naik permadani terbang tapi gak di kasih pinjam oleh Aladin atas larangan sobatnya, Blue Jin yang bukan merupakan jenis celenong panjing, adanya permadani masjid tapi takut ah nanti kena bully lagi kayak Nissa Sabyan. Terus kepikiran juga mau numpang pesawat Hercules, lha saya nya sedang gak stand by di Lanud Sulaiman. Terbersit juga sih ingin nebeng Air Force One, tapi takut disangka terlalu akrab dengan PapaTrump yang katanya highly di sukai di Indonesia based on pernyataan yang mulia papa minta saham. Ah ya sudahlah akhirnya naik mongtor saja walaupun bukan mongtor mabur. Tapi jangan berburuk sangka dulu karena naik mongtornya gak terus-terusan kok, ada saatnya ikut jalan dengan gerombolan anak-anak nekat dengan rentang usia 4 sampai 16 tahun itu. Sebenarnya karena tengsin juga sih sama anak-anak balitanya hihi. Dan tengsin kali kedua adalah ketika terseok-seok ditengah perjalanan eh disapa bapak-bapak yang pulang ngarit dengan bahasa sunda beraksen Kuningan yang membuat saya gegana untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa jawa. Kenapa harus bahasa jawa? Lha, mbah gugel aja hanya menyediakan bahasa daerah Jawa sama Bali je.

Sebenarnya rute naik gunung itu berakhir di kebun cengkehnya Abah Idi yang kerap disebut bubulak. Tapi anak-anak ngeyel ingin naik terus karena terobsesi oleh tiang sutet. Ah anak-anak ternyata lebih tahu diri, karena untuk mencapai puncak Ceremai adalah ketidakmungkinan akut bagi mereka maka cukuplah tiang sutet yang menancap di ketinggian tertentu itu menjadi pelipur laranya. Yang penting sama-sama tinggi statusnya, bukan in a relationship ataupun it's complicated.

Dari ketinggian yang entah berapa m pdl itu, terlihat lah kota Cirebon dengan hamparan lautnya yang memesona. Dan satu hal yang sangat saya sukai dari perjalanan naik-naik ke kaki gunung ini adalah wanginya aroma bunga kopi yang tengah bermekaran di sana sini.

Setelah puas menatap pemandangan alam di atas ketinggian dan bertanya-tanya bagaimana caranya tiang sutet itu di dirikan, saatnya meluncur turun dan kembali ke bubulak untuk membantu memetik cengkeh walaupun gak maksimal. Rasanya sangat menyenangkan memetik cengkeh dari tangkainya di bawah pohonnya yang rindang. Beberapa kali kepala ini kejatuhan buah cengkeh yang di petik Om Irul, hmm berasa sedang ada di acara saweran kondangan kawinan.

Rasanya ingin berlama-lama di kebun cengkeh namun anak-anak sudah ingin pulang. Ada yang tepar karena terjangkit virus lapar tingkat dewa, ada yang takut dengan laba-laba, ada yang was-was terlewat waktu sholat, sampai ada yang merasa mules segala, ah anak-anak memang selalu penuh dengan warna.

Pulangnya anak-anak bermain air di aliran air gunung yang jernih dan cukup deras walau lebarnya hanya kurang lebih 30 cm saja. Bila Alif kehilangan sebelah sandalnya maka Albany kehilangan uang jajannya di

tempat mereka bersuka ria itu. Ya, begitulah anak-anak, lagi-lagi selalu penuh warna.

Liburan nanti, tunggu Tante ya, kita kembali beraksi, dan ssstt jangan bilang-bilang ke rumput yang bergoyang kalau target kita selanjutnya adalah kebunnya Abah Iing. Merdekaaaaaa!!!

posted from Bloggeroid

No comments:

Post a Comment