Aku selalu mengagumi jendela itu. Sebuah jendela besar yang kerap terbuka lebar. Walaupun cat nya telah sedikit memudar tapi tidak mengurangi pesonanya untuk selalu di singgahi.
Jendela itu kerap menjadi bulan bulanan, di duduki , ditongkrongi, bahkan di langkahi, menggantikan fungsi pintu yang sebenarnya tak pernah kulewati.
Aku dan seorang teman kerap duduk di jendela itu, untuk sekedar berbincang, menghabiskan satu piring nasi goreng atau satu mangkok mie instan sambil mendengarkan suara sayup kompisisi air on a G string nya Bach dari ruangan sebelah. Sebuah gitar yang aku lupa warnanya kadang ikut andil dalam menyemarakan suasana jendela berbukaan dua itu.
Kini aku tak pernah tahu bagaimana nasib jendela besar itu, apakah pemiliknya seramah yang dulu, yang selalu membiarkan jendelanya tak pernah sepi dari kicauan tak penting sampai tumpahan kopi.
Jendela itu kerap menjadi bulan bulanan, di duduki , ditongkrongi, bahkan di langkahi, menggantikan fungsi pintu yang sebenarnya tak pernah kulewati.
Aku dan seorang teman kerap duduk di jendela itu, untuk sekedar berbincang, menghabiskan satu piring nasi goreng atau satu mangkok mie instan sambil mendengarkan suara sayup kompisisi air on a G string nya Bach dari ruangan sebelah. Sebuah gitar yang aku lupa warnanya kadang ikut andil dalam menyemarakan suasana jendela berbukaan dua itu.
Kini aku tak pernah tahu bagaimana nasib jendela besar itu, apakah pemiliknya seramah yang dulu, yang selalu membiarkan jendelanya tak pernah sepi dari kicauan tak penting sampai tumpahan kopi.
posted from Bloggeroid
No comments:
Post a Comment