Thursday, November 26, 2015

APA YANG DI TANAM ITULAH YANG DI TUAI

Bos saya dulu hobi banget merekrut karyawan bagian produksi dan turunannya yang berusia sangat muda. Saking belia nya ngelap ingus aja belum bisa. Mungkin, dia merasa iba dengan anak anak putus sekolah itu dan ingin memberikan kehidupan yang lebih bermakna, padahal mah karena bisa di bayar murah aja. Kabar buruknya, upah murah berbanding lurus dengan kualitas kerja. Saya sering di buat bete karenanya. Mereka hanya mampu mencerna satu buah perintah saja, karena bila ada dua apalagi lebih, pasti sisanya bakal lupa. Wajar sih, lha wong otaknya gak pernah diajak berlatih semenjak memutuskan untuk berhenti mengenyam bangku sekolah dan memilih untuk bekerja. Alasan berhenti sekolah klise saja, karena gak punya biaya. Ada salah satu yang sering saya ajak bicara. Bila sedang iseng saya kerap bertanya, mau kerja dimana kalo kira kira kena PHK? Jawabnya mudah saja, mau jadi tukang becak katanya.

Yang malesin nya adalah ketika ia mengeluh karena upah yang di dapat menurutnya tak sebanding dengan tenaga yang di hela. Sedangkan beban hidup semakin merajalela karena ia memutuskan untuk menikah muda. Entah enam atau tujuh belas tahun usianya saat ia dengan bangga bercerita bahwa ia telah meminang seorang dara yang sama belianya, sementara anak lain seusianya sedang giat belajar di bangku SMA. Bila saya tanya kenapa memutuskan untuk cepat menikah, dengan ringan ia menjawab, karena tidak ada kegiatan lain yang bisa dilakukan disamping bekerja. Jadi lebih baik menikah saja, sebagai hiburan ketika bosan dengan rutinitas kerja. Boro boro memikirkan cita cita, sekedar hobi saja ia tak punya.

Awal pernikahan, cerita manis kerap meluncur dari bibirnya. Tapi itu tak berlangsung lama karena selebihnya, curhatannya terdengar sungguh merana. Putra pertama lahir ke dunia, membawa kegembiraan bagi ayah, ibu, besan dan mertua. Persalinannya sedikit berkendala karena sang Ibu muda memang belum cukup usia.

Dengan tambahan satu orang anggota keluarga, tentu saja upah yang di terima bagaikan sesuatu yang hampa. Bukannya giat bekerja dan mencari peluang kerja lainnya, semangat kerjanya malah mengendur beberapa tingkat dari biasanya. Alasannya karena si bos tak jua menaikan upahnya. Bagaimana mau menaikan upah, lha kemampuannya aja cuma segitunya. Etos kerja jangan di tanya, merosot tajam karena semangat kerjanya telah menguap entah kemana, berganti dengan keluh kesah akan kehidupan berkeluarga yang dulu ia kira akan selalu bahagia.

Dua tahun sudah usia putranya ketika ia memutuskan untuk berpisah dengan istrinya. Saya tidak tahu pasti mengapa mereka berpisah. Sang istri pulang kembali ke rumah orangtuanya dengan membawa serta satu orang anggota keluarga. Kakek nenek yang mulanya bangga akan anaknya yang telah memberi mereka cucu akhirnya hanya bisa mengurut dada. Anak yang dulu di nikahkan segera untuk mengurangi beban keluarga, kini malah memberi tambahan daftar biaya. Orang tuanya gak bisa menyalahkan siapa siapa, karena ini semua terjadi atas ijin mereka. Ijin untuk membiarkan anaknya berhenti bersekolah karena alasan ketiadaan biaya dengan akhir yang terasa mengiris dada.

Akhir kata, jadi orang tua dilarang egois dengan mengharapkan lebih dari anak anaknya, bila kewajiban memberi pendidikan yang baik aja masih jadi tanda tanya. Pada dasarnya, apa yang di tanam, itulah yang di tuai.

Sekian.

Nb : paling malesin kalo ada ibuk ibuk yang bilang "Anak saya mah udah laku, udah ada yang mau"
Ish Ish Ish jualan ya? Di jual berapa anaknya? Yang pedes karetnya dua ya?
posted from Bloggeroid

No comments:

Post a Comment