Dalam perjalanan hidup saya bersama sang angkot, saya banyak merasakan pahit manisnya menggunakan kendaraan umum yang satu itu. Melewati fase perubahan fisik angkot, terminal, tarif, dan trayek adalah pengalaman berangkot yang luar biasa menarik.
Dulu ketika saya kecil sekitar tahun 80 an, angkot identik dengan Honda, mungkin karena angkot pada jaman itu di dominasi dengan kendaraan bermerk Honda, sehingga bila kita naik angkot pasti dibilang naik Honda. Kalo kata nenek saya bila mau mengajak berpergian pasti bilang “yook ngonda yook“.
Sang angkot ini bentuknya kotak, berbody seperti kaleng, dan berpintu di belakang.
Tahun 1987 saya masuk SMP, kebetulan SMP saya itu jaraknya sekitar 12 km dari rumah dan tepat berada di daerah sekitar terminal angkot, sehingga perjalanan ke sekolah itu bisa dibilang perjalanan yang panjang dan lama. Angkot kala itu mengalami peremajaan walau tanpa satu dua oles krim anti aging tentunya.
Tidak hanya Honda yang memonopoli dunia perangkotan tapi mulai lah muncul merk lainnya seperti Daihatsu ataupun Toyota. Bentuknya sudah agak fashionable, ada yang dijuluki angkot kapsul karena bentuknya menyerupai kapsul ada juga yang di sebut zebra tapi bukan karena bermotif white stripes kayak si marty kuda zebra di madagascar itu ya tapi itu adalah nama tipe kendaraannya yang berbentuk seperti kapsul juga tetapi dalemannya lebih luas.
Dulu angkot yang melalui rumah saya masih kurang banyak armadanya, terkadang bila berangkat sekolah saya harus berebutan untuk mendapatkan satu seat saja. Pokoknya angkot jaman itu laris manis deh. Di dalam angkot terdapat bel yang kadang berbentuk bulat kadang kotak, jadi bila akan turun kita tidak usah teriak teriak ala tarzan, cukup memencet bel yang ada diatas dan pak supir pun berhenti dengan senang. Saat itu belum ada yang namanya kernet apalagi pengamen yang gonjrang ganjreng dalam angkot. Berangkot kala itu terasa nyaman, tentram dan damai.
Jalanan belum macet seperti sekarang ini, kemacetan hanya terjadi ketika angkot mulai memasuki Jalan Dewi Sartika alias terminal Kebon Kelapa yang membuat saya sering menyerah untuk turun dan berjalan kaki menuju sekolah yang tinggal berjarak beberapa ratus meter saja. Perjalanan pulang dari sekolah menggunakan angkot menurut saya cukup menyenangkan karena banyak teman seperjalanan yang dapat menghapus rasa capek dan penat. Ketika itu masih ada pula angkutan umum berupa bemo, si kendaraan beroda tiga yang bisingnya minta ampun, untuk trayek tertentu.
Memasuki era 90 an saya sudah menjadi anak SMA, yang dulu semasa SMP saya hanya perlu naik satu kali angkot untuk sampai ke sekolah, ketika SMA saya harus naik dua kali. Tapi kala itu saya sering menggunakan bis Damri untuk setengah perjalanan ke sekolah karena tarifnya yang sungguh bersahabat.
Nah, angkot kala itu karoserinya sudah gak diragukan lagi deh, bentuknya sudah mulai manis dan menarik, ada sih satu dua yang masih ketinggalan jaman dan biasanya gak pernah di lirik oleh penumpang yang berjenis anak sekolahan.
Jok artis mulai menjamur, yaitu tempat duduk atau jok kecil yang ditongkrongkan di tempat yang masih kosong terutama di belakang om supir, demi memaksimalkan penumpang. Jok ini sangat tidak di sukai karena disamping kecil, gak nyaman juga menjadikan penumpangnya berjalan mundur dan terasa panas karena posisinya tepat diatas mesin. Angkot berkaca film hitam pun mulai bermunculan, entah apa pilosofinya sampai kaca jendela angkot yang bak aquarium itu berlomba lomba di hitamkan atau bahasa keren nya di rayben kan.
Memasuki masa perkuliahan, barisan angkot yang ditumpangi menjadi lebih panjang. Saya harus 3 bahkan sampai 4 kali gonta ganti angkot demi sampai ke kampus saya yang ada diujung dunia sana. Atau dua kali angkot satu kali Damri. Bila pagi hari waktu yang dibutuhkan hanya 1,5 jam saja tapi bila siang atau sore hari bisa menjadi 2 jam an lebih karena kemacetan sudah mulai menjadi tren. Tidak jarang saya pulang ke rumah menunggu senja menjelang demi menghindari kemacetan yang mulai merajalela.
Saat itu angkot sudah lumayan banyak, om supir mulai kreatif menjadi seorang DJ dadakan. Terlihat tumpukan kaset di dashboardnya yang menggunung, tapi sayang koleksi nya gak sesuai dengan telinga saya. Biasanya om supir itu akan memasang lagunya dengan keras keras. Begitu gegap gempitanya sampai bila kita ngobrol harus berteriak teriak. Kernet pun mulai bergelantungan, sebagai kolektor ongkos dan berlagak seperti lady escort yang kadang menyebalkan, penuh dengan pemaksaan.
Bila perasaan hati sedang tidak mood untuk ngebis Damri, saya memilih angkot Ledeng untuk meneruskan perjalanan ke kampus. Rutenya panjang, sedikit muter muter, tapi karena masih pagi saya merasa senang untuk melakukan perjalanan itu. Gak jarang saya bertemu dengan teman seperjalanan baik yang satu kampus ataupun yang beda kampus. Ada satu angkot Ledeng yang sangat membekas di hati saya, kenapa? Karena angkot ini jenis angkot yang berbudi pekerti.Interior nya nyaman, rapi, bersih. Gak ada tu yang namanya jok artis terselip. Yang saya kagumi adalah om supir nya menyiapkan tempat sampah untuk para penumpang. Ada tulisan besar terpancang bertuliskan “Dilarang Merokok“. Pengharum ruangan menambah nilai plus angkot itu. Dan satu lagi, Om supirnya sangat santun ^four thumbs up^ deh.
Angkot yang mengantar saya ke kampus dari jalan utama adalah angkot jadul dan antik, hipster pokoknya deh. Kayaknya nih angkot itu adalah angkot yang seharusnya tidak beroperasi lagi. Bentuknya agak kotak dan besar tapi bodynya tidak seperti kaleng, terlihat dan terasa cukup gagah walau suka ngadat di tanjakan ciwaruga. Tempat duduk favorit saya diangkot ini adalah pas di pintu, dimana saya bisa merasakan angin semilir, gak bau tujuh rupa, bisa dadah dadah sama teman di luar sana, memandangi pemandangan dengan leluasa dan mudah turun tentunya.
Memasuki masa kerja, saya kembali bergelut dengan angkot, kali ini jarak tempuhnya pendek saja tapi armadanya sedikit sehingga menunggu angkot adalah satu pekerjaan tambahan sebelum ngantor. Angkot ini penggemarnya banyak tapi entah mengapa jumlah angkotnya gak ditambah tambah, on peak hours, penumpangnya sampai ada yang bergelantungan di pintu, gak cuma satu orang tapi sampai empat orang. Dan kursi depannya biasanya dijejali empat orang including om supir, cakep gak tuh.
Saat ini saya masih senang berangkot angkot ria, tapi beban berangkot sekarang lebih hebat. Macet yang semakin gilak, pengamen merajalela, tarif yang membumbung tinggi, trayek yang acak acakan, kebiasaan ngetem tanpa ampun, belum lagi kasus perampokan, hipnotis dan kejahatan lainnya yang menghantui para penumpang angkot masa kini membuat saya harus selalu waspada. Tapi dari semua permasalahan itu bagaimana pun juga angkot adalah sahabat saya, dan saya pun senang menggunakannya, menikmati perjalanan dengan tulus ikhlas adalah kunci kesuksesan berangkot. Karena terkadang dari sebuah perjalanan dengan menggunakan angkot, saya bisa menemukan hal hal baru, teman baru, pengalaman baru, cara pandang baru terhadap sesuatu dan banyak lagi.
Yang jadi pertanyaannya adalah masihkah angkot menjadi salah satu moda transportasi yang mainstream sekarang ini mengingat makin banyaknya orang menggunakan kendaraan pribadi berupa motor atau pun mobil?
Saya jawab dengan pasti : MASIH !!!
#salam angkot tujuh lima
Published with Blogger-droid v2.0.10
No comments:
Post a Comment