Saturday, September 20, 2014

SEBUAH CATATAN TENTANG SEORANG IKON GRUNGE BANDUNG

Saya tidak mengenalnya secara personal, yang saya tahu bahwa dia adalah teman satu jurusan eks saya dulu. Interaksi face to face saya dengan dia adalah di suatu siang di depan kantin Mas Pono, kala itu saya sedang menanti angkot dengan seorang teman, lalu tiba tiba dia menghampiri saya, memandangi tas kanvas saya dan sedikit menarik narik permukaan yang ada tulisannya. Saat itu saya tak mengerti dibuatnya, saya memandangi raut wajahnya, dahinya berkerut dan tak berkata apa apa. Lalu saya pun ikut menengok tas saya yang bertuliskan GRUNGE dengan tanda tanya di kepala. Setelah dia puas memelototi tas saya, dia pergi meninggalkan saya dengan sebuah senyuman penuh makna. Saya pun bertanya tanya, ada apa dengan dia?.

Beberapa belas tahun kemudian, pertanyaan saya terjawab. Saya menemukan namanya di suggestions page medsos yang terkemuka, karena teman temannya adalah teman teman saya juga, ah kebetulan. Membaca postingan, beberapa note dan gambar gambar yang kerap di share nya, membuat saya mengerti mengapa dia dulu bela belain keluar kantin Mas Pono hanya untuk melihat tulisan di tas saya. Kalo kata ben10 , oh man !!
Dia ternyata adalah salah satu ikon di dunia anak muda grunge Bandung yang dulu berkembang di sebuah rumah di bilangan Purnawarman pertengahan 90 an. Malah ada yang bilang bahwa dia adalah ikon 4 generasi grunge Bandung (yang ini bener bener perlu penjelasan :D, gak setuaa itu kaleee). Dia dan band nya telah mengeluarkan beberapa album secara indie yang saya gak pernah tau sebelumnya karena arus informasi kala itu belum sehebat sekarang.
Dia dan band nya adalah termasuk salah satu band pengisi album kompilasi “Grunge is Dead“ yang hanya di produksi 200 kaset saja dan merupakan album kompilasi yang sangat bersejarah untuk kaum grunge di Bandung.
Kalo lapis legit, saya mungkin ada di lapisan terbawah di bawahnya paling bawah sekali mepet ke loyang, bila berbicara tentang musik grunge. Saya hanyalah kulit ari sedangkan dia adalah sumsum tulang. Saya baru bisa menyandang tas bertuliskan grunge, sementara dia telah menyandang gitarnya dan menyanyikan penyroyal tea dengan kerennya.
Saya baru bisa mendengarkan lagu lagu band pengusung aliran grunge, sedangkan dia, telah terjun bebas, bergelut dengan semua hal ke dalam musik yang sangat identik dengan mendiang Kurt Cobain itu.
Ah, sungguh kerdil nya saya di hadapannya.
Karena itu, mulai hari ini saya gak akan menggembor gemborkan musik kesukaan saya dengan membabi buta lagi.
Mulai hari ini saya akan mencoba menyelami musik musik grunge nya anak bangsa.
Mulai hari ini saya ingin lebih mengenal mereka, yang bermusik karena idealismenya bukan karena materi dan ketenaran semata.
Mulai hari ini saya akan terus meyakinkan diri bahwa suatu saat saya akan bisa ngobrol santai dengan dia dan bandnya untuk dapat mengetahui lebih dalam tentang mereka serta mendokumentasikan perjalanan bermusiknya ketika malang melintang di blantika musik grunge se Bandung Raya melalui sebuah tulisan, agar musik grunge lokal lebih di kenal bagi generasi selanjutnya.


Keep on rockin‘ !!!
Keep on grungin‘ !!!












posted from Bloggeroid

Monday, September 15, 2014

SERIAL DRAMA KOREA BAGIAN DARI KOREAN WAVE

Setelah sebelumnya nonton serian 24 “live another day“ nya Jack Bauer yang sangat menguras pikiran *lebay* karena scene per scene nya yang sangat cepat ditingkahi dengan masalah teknis yang menghantui, kemarin ini akhirnya saya tamatkan serial drama korea berjudul “Master‘s Sun“, pinjaman dari seorang teman yang menguras air mata dan tawa #deuh. Dari cerita tentang drone yang di hack oleh teroris beralih ke cerita tentang seseorang yang mempunyai kemampuan untuk melihat roh gentayangan, ah manusia genre macam apaaa gerangan saya ini.

Tapi kali ini saya gak bakalan ngomongin tentang om Jack Bauer yang diperankan secara heroik oleh Kiefer Sutherland, saya lebih tertarik ngomongin tentang drama Korea ... nobody ...nobody .. but you.. teteeet *gaya Wondergirls.

Drama Korea (drakor) ini mulai di kenal di dunia pertelevisian kita mungkin sekitar awal tahun 2000 an. Tahun 2000 ke bawah, pertelevisian indonesia masih di kuasai oleh opera sabunnya Amerika Latin seperti Marisol, Marimar, Marimas, Marimbak, Maria Mercedez, BWM, Honda, Toyota #eiiih. Dulu saya adalah salah satu penggemar film serial Amerika Latin itu *tutupmuka pake wajan. Dan ada suatu masa seorang teman bertanya.
“koy, udah kerja?“
“udah“
“oooh berarti marisol udah tamat ya?“
“heuheu“
Teman, itulah jaman kegelapan, ketika Middle Earth di kuasai oleh Sauron #wahaha Master Frodoooo *gaya Gollum.

Kembali ke serial Drakor, kenapa drakor ini banyak penggemarnya sampai sampai di lapak DVD, barisan judulnya melebihi barisan semut merahnya Obbie Messakh yang berbaris di dinding, menatapku curiga *hasyah.
Kenapa ya, menurut saya karena drakor ini mempunyai kelebihan kelebihan tersendiri, seperti :
Alur ceritanya sederhana gak belibet penuh dengan intrik gak jelas, sangat realistis, dengan tidak lebih dari 20 episode saja (rata rata cuma 16 episode), gak di panjang panjangin, sehingga ceritanya, gak diada adain.

Pemeran utama wanitanya gak harus cantik banget bak bidadari turun dari khayangan nya om Jaka Tarub yang cetar membahana, coba tengok Master‘s sun, Alice in cheongdamdong, Marry stayed out all night, mereka itu sangat biasa tapi memang mempunyai keistimewaan tersendiri. Peran utama yang cantik banget emang ngegemesin terutama buat kaum adam, tapi kan penggemar drakor kebanyakan kaum hawa, jadi si cantik ini kadang kadang cuma bikin para wanita yang menontonnya benci kepada diri sendiri karena gak secantik mereka dan akhirnya dihantui dengan rasa ingin melakukan operasi plastik di Korea tapi apa daya kantong gak cukup lebar dan dalam, akhirnya pergi ke Haji Jejen aja :p. So, dari sini bisa di ambil hikmah nya kalo di serial drakor cantik itu bukan segalanya, beda sama telenovela Amerika Latin.

Ceritanya seringkali susyah di tebak, bikin penasaran, jantungan tapi berakhir dengan bahagia, ada juga sih yang gantung gantung gak jelas tapi jumlahnya sedikit jadi gak ngeselin banget :p.

Lokasi pengambilan gambar atau setting nya biasanya di tempat tempat yang indah dan sentosa, inilah salah satu daya tarik drakor yang sangat di manfaatkan oleh pemerintah Korea.

Pemeran antagonisnya biasa aja, gak pake harus komat kamit ke kamera, gak harus membeliakkan mata sampai otot matanya keseleo, gak bisa balik lagi seperti semula, antagonis yang elegan gitu deh.

Serial drakor selalu di sponsori oleh produk produk lokal, masih menjunjung tinggi budaya bangsa dan selalu ada hikmah yang bisa di tarik penonton di dalam ceritanya.

Serial drama Korea adalah salah satu produk negeri Korea yang menjadi bagian dari Hallyu atau Korean Wave yaitu istilah yang
diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia. Bersama musik K pop, serial drakor menjadi kan Korea sebagai salah satu negeri tujuan wisata di Asia yang digemari oleh wisatawan
mancanegara. Dukungan penuh dari pemerintahnya, membuat dua produk korea itu dapat menjadi tren di mana mana, tidak hanya di Asia tapi sampai juga ke
Amerika sana.
Di Indonesia sendiri pengaruh
Korea terasa sejak beberapa
tahun belakangan ini. Boyband dan Girlband menjamur bak kadas kurap panu dan kutu air, dengan musik dan gaya berpakaian yang di mirip miripin mereka bisa eksis di dunia permusikan indonesia walau banyak juga yang mencibir nya. Disini, di negeri kita ini tak akan sulit kiranya menemui hal hal yang berbau Korea. Dari lini fashion, musik, sampai kuliner. Para belia pun mulai mempelajari bahasa korea, baik dari yang mandiri belajar sendiri ataupun pergi kursus, bahkan ada yang sampai rela terbang ke negeri nya Jang Geun Suk itu demi mempelajari bahasa dan budayanya. Yaa asalkan gak melupakan budaya sendiri, saya rasa itu sah sah aja.

Korea (selatan loh ya, kalo utara sih sering munculnya di film Jack Bauer) adalah negeri kecil dengan daya pikat yang sangat tinggi.

*nonton apa lagi ya * ayaaaaa ... ada apa lagiii ? :p




posted from Bloggeroid

Tuesday, September 9, 2014

MEMELIHARA KUCING

“si dono doni mah takut sama genk motor“ kata teman saya beberapa waktu yang lalu.
“wiih masak kucing takut juga sama genk motor?“ tanya saya sambil mengelus kepala doni lembut.
“genk motor teh nama kucing, kelakuannya mirip genk motor“ “ooh, suka bawa samurai juga kali yak :p“
Jiaaah genk motor atau kawakami genzai, make bawa bawa samurai segala.

Setiap orang mungkin punya binatang kesayangan nya sendiri sendiri untuk di pelihara, atau pait nya punya kesukaan untuk memandangi dan mengagumi para binatang (itu sebabnya kebun binatang selalu ramai di kunjungi orang). Jangan kalah sama PERSIB dong, mereka aja punya binatang kesayangan “si maung“ aaauuummm.

Binatang kesukaan keluarga saya, adalah binatang kesukaan John Lennon juga yaitu kucing. Ibu saya adalah seorang penyuka kucing, mungkin sudah berpuluh kucing yang tinggal dan pergi, kalo saja kami punya wall of DC, semua nama yang tertera di sana bukan nama veteran perang vietnam tapi nama para kucing. Halaman rumah kami itu ibarat judul salah satu film tempo dulu, Pet Sematary (cemetary) nya Stephen King, hiiiyyy horrooorrr.

Kucing pertama kami adalah si minot, kucing berbulu hitam putih yang sangat lucu, ekornya pendek melengkung, dia tewas dalam suatu kecelakaan mobil, ibu dan kakak saya menangis pilu ketika menguburkan kucing yang hobinya tidur di para para rumah itu.

Lalu dari situ, mulai lah banyak kucing kucing yang bergantian datang ke rumah kami, beberapa saya ingat namanya, ada metal, johny barbier, sukanta, mbok dido, bundel, jegger (yang ini kayaknya punya tetangga deh), robby sugara, wally, otiz, dan nama nama yang sesuai dengan warna dan motif bulu nya masing masing seperti belang, koneng, iteung dkk nya.
Terakhir ini ada kucing nomaden, one big happy family yang sering datang ke rumah untuk singgah, lalu kami namai mereka dengan nama si kumis untuk bapaknya, si emak untuk ibunya dan anaknya yang lucu di namai zorro, adiknya zorro, si koneng tewas mengenaskan di mulut seekor kucing pria besar berwarna kuning yang punya tatapan evil, hanya di karenakan si emak tidak mau menjalin hubungan dengan si kucing pria tersebut, si emak ini kayaknya masih setia sama si kumis tipis hiasan, wajah tampan rupawan #wiih hetty koes endang.

Semua kucing kami adalah kucing lokal atau kampung, belum sekalipun kami mempunyai kucing imporan ala si Garfield yang mempunyai akta kelahiran atau surat silsilah keluarga. Disamping mahal belinya, kami juga gak cukup kuat buat membiayai gaya hidup mereka yang kebarat baratan.
Sebenarnya keluarga kami agak pilihan juga, tiap kucing yang datang dan ingin menetap harus diperiksa gender nya dahulu, bila laki laki boleh stay, jikalau perempuan langsung di kirim ke panti asuhan kucing (nyaris kayak jaman firaun aja yah ckck). Beruntung sekali dari dulu rumah kami dekat dengan para penyedia layanan rumah singgah untuk kucing alias penyayang kucing nomer wahid, jadi bila ada kucing yang tidak kami harapkan kedatangannya kami titipkan di sana. Di tempat tinggal kami yang terdahulu ada rumah Ibu Burkon, wanita keturunan Belanda ini mempunyai satu kamar khusus untuk tidur para kucingnya yang jumlahnya puluhan. Nah, kalo sekarang ini, ada Ibu Iim, rumahnya cukup dekat dengan kami, wanita pensiunan guru ini sangat sayang dengan kucing, vitamin dan obat cacing tidak pernah absen di berikan kepada kucing kucingnya, terakhir kalo tak salah ingat, kami memberikan Si Otiz, karena saat itu saya sedang hamil, dan dokter menganjurkan untuk tidak memelihara kucing karena takut terjangkit virus toksoplasma.

Kami tak suka memelihara yang betina karena sering sekali melahirkan gak cuma dua tapi bisa sampai 4 bayi, repot, mau di KB, bidan andalan gak ada yang mau nerima, biaya sterilisasi kucing belum lama ini di patok di angka 300 ribu rupiah, membuat seorang teman yang ingin mensteril kucing betina nya langsung balik kanan angkat kaki dan dengan pedih menyenandungkan lagu : keluarga berencana sudah waktunya janganlah di ragukan lagi #ngenes.
Eh tapi denger denger, tahun ini pemerintah memberikan pelayanan gratis untuk sterilisasi kucing jantan maupun betina, dengan tujuan menekan populasi kucing yang semakin membengkak bak populasi manusia, ah jadi inget Thomas Robert Maltus.

Kalo ngomongin binatang yang mempunyai marga Felidae dan memiliki gigi berjumlah 30 buah bila telah dewasa ini, membuat saya selalu teringat dengan bang Rhoma, karena salah satu nama kucing teman saya adalah Enjellelga yang kabarnya telah menghilang beberapa bulan lalu. Ah gapapa ris, mungkin lagi sibuk nyuci tas si negara tetangga :p.

Puuusss ... miaaaaawwww.











posted from Bloggeroid

Sunday, September 7, 2014

MASA KECIL

Ikutan grup jadul jadi mengingatkan saya akan masa kecil saya yang menyenangkan walaupun hidup dalam segala keterbatasan. Sebenernya gak seneng seneng amat sih, beli baju lebaran aja musti nabung dulu di celengan tanah liat selama setaun :D.

Seperti hal nya anak perempuan seumuran, saya dulu sering main masak masakan, korbannya adalah daun Hibiscus rosa-sinensis aka kembang sepatu, daun ini di campur dengan air lalu di peras, dijadikan minyak goreng artificial, sedangkan bunganya, sering saya hisap bagian bawahnya, terasa manis semanis senyum mu pada ku #aih. Lalu ada cuscuta sp atau yang lebih di kenal dengan nama tali putri yaitu tanaman parasit berwarna kuning berperan sebagai mie nya, daun pluchea indica less atau beluntas si obat bau ketek sebagai sayurannya, dan campuran bunga setaman lainnya, di hajar di satu wadah di jadikan masakan ala chef chef terkenal pada jamannya, siapakah itu? auk ah gelap, tau nya kan cuma kak seto, kak heny, dan pak tino sidin, dan mereka itu bukan chef :p.

Sepulang sekolah, saya paling suka bermain di saluran air RT tetangga, agak jauh dari rumah, airnya sejernih air pam, mengalir dari hulu ke hilir dengan tenang. Di sana saya seringkali menangkapi ikan ikan kecil, menyaksikan berudu berenang kian kemari, menikmati rimbunnya pohon kersen sambil menyantap buah nya yang memerah, lalu dengan isengnya berjalan hilir mudik di jembatan yang terbuat dari batang kelapa yang tergeletak tak berdaya, melatih keseimbangan.
Saya pun biasa bermain di sebuah lapangan bertanah merah, duduk dipinggirannya beralaskan rumput yang menghijau, menikmati semilirnya angin sore sambil iseng mencabuti dan membaui akar rumput yang baunya nyaris seperti tarason. Di sana saya kerap menyaksikan anak lelaki bermain layangan dan sepeda.

Lain hari saya sudah menclok di sawah, mencari tutut diantara sejuknya genangan air pesawahan yang menyentuh kaki tak beralas. Setelah itu pindah ke perkebunan tak jauh dari situ, mencari buah hiris dan petai cina muda untuk di jadikan rujak seadanya.

Saya pun mempunyai tempat favorit, tempat favorit saya yang pertama adalah pohon jambu batu merah yang terletak di depan rumah. Saking seringnya di panjat, batang pohon jambu itu menjadi halus dan mengkilat. Pohon jambu itu rimbun, bila musim berbuah tiba, saya betah berlama lama di atasnya, kadang sambil meneriaki teman yang lewat di bawahnya. Saya baru turun bila ada ulat jengkal atau ulat jenis lainnya yang mulai menampakkan diri di depan hidung saya, ngaciiiiiirrrr adalah solusi yang paling tepat.

Pohon jambu batu putih di halaman rumah teman SD saya adalah tempat favorit kedua saya, biasanya setelah pulang sekolah kami kerap bergelantungan di sana, kadang berdua, bertiga bahkan berempat, dengan pohon sebesar itu, kayaknya cukup untuk menampung sekompi anak anak kecil.

Ngomongin masa kanak kanak pasti gak bakalan jauh dengan yang namanya permainan, kala itu banyak sekali jenis permainan yang biasa di mainkan, ada gatrik, loncat tinggi, spintrong, sondah, boy boy an, petak umpet, galah asin, congklak, kuwuk dengan bola bekelnya, halma, ular tangga, ludo, kwartet, kelereng, kutik dan beberapa lainnya. Yang paling saya ingat adalah bola yang di gunakan untuk bermain boy boy an yaitu gumpalan kertas koran yang di bentuk seperti bola lalu di masukan ke dalam plastik dan di ikat dengan karet gelang. Tujuan dari pembuatan bola kertas ini yaitu agar tidak sakit bila kita kena gebok lawan. Loncat tinggi adalah permainan yang menyenangkan, apalagi bila sampai bisa meloncati untaian karet yang di kepang itu di sesi “merdeka“. Puas sangat!.

Tentang jajanan, ah kalian semua yang satu angkatan pasti tau jajanan apa saja yang ada kala itu, dengan uang 25 perak, kita sudah bisa membawa makanan atau mainan yang kita sukai ke rumah bahkan ember bolong, tutup panci penyok, sandal jepit dan botol kecap bekas, bisa kita barter untuk sekedar menikmati manisnya arumanis dan gulali.

“Benar. Kita tak pernah lagi menjumpai kebahagiaan yang
setara dengan kebahagiaan masa
kanak-kanak kita“. (John Steinbeck)

#sigh.

Sekian dan terima kasih.
posted from Bloggeroid

Tuesday, September 2, 2014

KEEP ON ROCKIN‘ AND SAVE THE HORSES

Saya terbahak ketika seorang teman menulis pesan dengan heroiknya : keep on rockin‘ and save the horses! Apaaaalaaaaggiii coba. YA, saya suka musik rock, dan YA, saya dikelilingi oleh kuda kuda yang tiap hari hilir mudik di depan rumah saya, kuda, saya, dan musik rock, let‘s see :D.

Kuda dan saya :
Kuda favorit saya adalah Maximus, kuda istana yang sangat cakap dan pemberani, mempunyai mimik muka yang sangat kocak. Nonton tangled berkali kali cuma karena saya suka sama si max ini, selebihnya mah bonus.

Kuda favorit kedua saya adalah kudanya Lucky Luke, si Jolly Jumper, kuda putih bertotol coklat yang di gadang gadang sebagai kuda tercerdas di dunia. Mempunyai surai blonde dan bulu mata yang aduhai. Mungkin Utut Adianto bakal seneng kalo ketemu dia, soalnya si jolly jumper ini gape sekali main catur selain mencuci baju.

Di kampung saya, kuda (delman) adalah alat transportasi yang masih eksis. Jauh dekat seribumaratus. Para pemilik kuda di sini karakternya bermacam macam, ada yang lemah lembut, sedang sedang saja dan ada yang galak luar biasa. Saya paling kheki sama yang galak luar biasa, mereka ini kadang mencambuki kuda bagai mencambuki kasur kapuk yang merana di siang hari bolong. Sang kuda cuma bisa meringkik sedih, mengiris hati. Harusnya saya ajak salah satu mantan capres kemarin ini untuk berkoalisi lantas demo sambil membentangkan spanduk “SAVE THE HORSES“ di depan kantor kelurahan *bawa unimog kayaknya keren jugaa eaaaaaaa.

Kuda dan musik rock :
Dulu saya punya teman, dia punya ben rock, bikin demo album dan salah satu judul single nya berjudul “kuda liar“ saya lupa liriknya, tapi dulu denger melodinya sih lumayan oke juga. Yaaa, kuda liar, kayak salah satu jenis susu gitulah. Asli sumbawa #aih.

Di tahun 70 an ada ben rock underground yang namanya The Kuda, ben ini gak terkenal karena hidup di jaman Pak Harto, jaman ketika kreatifitas dalam bermusik di berangus sedemikian rupa. Kenapa namanya The Kuda? Konon katanya, ben ini ingin seperti kuda.Kuda adalah simbol kerja keras, keuletan serta kerap melawan semua bentuk represi yang mengukungnya. Liar dan berkarakter. Nah kan, kuda teaaa.

Satu hal, saya gak suka dengan segala kekerasan terhadap kuda. Kuda berhak hidup dengan damai dan ceria, bukannya setelah kerja keras untuk manusia, menjelang renta, malah di hidangkan di meja.
Menurut saya sate kuda adalah sate yang paling gak sopan. Berdasarkan sebuah penelitian, daging kuda memang banyak mengandung banyak manfaat untuk di konsumsi manusia, tapi plis deh, ini kudaaaa, alat transportasi nya William F Cody saat bekerja di Ponny Express. Ini kudaaa, teman temannya secretariat, kuda tercepat di dunia yang bisa berlari sampai 80 km/jam yang berasal dari Virginia.
Ini kudaaa, yang namanya di abadi kan menjadi salah satu jenis merk mobil.
Ini kudaaa yang memberi inspirasi pada ben rock 70 an, The Kuda untuk membuat album bertajuk “Duka Kuda“.

So, keep on rockin‘ and save the horses !!!

Thanks dul !!!






posted from Bloggeroid